PENDAHULUAN
Pneumotoraks adalah
terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura, yaitu rongga di antara pleura
parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara
dan memiliki tekanan negatif sebesar - 11 sampai - 12 cm
air pada
waktu
inspirasi dan - 4 sampai - 8 cm air pada saat ekspirasi (1,2).
Pada
penumotoraks, oleh karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga
pleura meningkat menjadi lebih positif dari
tekanan normal dan bahkan dapat melebihi tekanan atmosfir (2,3). Akibat
peningkatan tekanan di dalam rongga pleura, jaringan paru akan mengempis yang
derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan, pengembangan jaringan paru
sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua isinya terdorong ke
arah sisi sehat dengan segala akibatnya (1).
Pneumotoraks
merupakan suatu kegawatan medik yang membutuhkan pengenalan dini dan penanganan
secepatnya.
PENGGOLONGAN
PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks
dapat dikelompokkan berdasarkan atas lokasi, kejadian, derajat pengempisan paru
yang terkena dan jenis fistel yang terjadi. Menurut lokasi, pneumotoraks
dibedakan dalam pnemotoraks parietalis, mediastinalis dan basalis. Berdasarkan
kejadiannya, pneumotoraks digolongkan ke dalam pneumotoraks spontan, artifisial dan traumatika. Sesuai
dengan derajat pengempisan jaringan paru, pneumotoraks dapat dibagi atas
pneumotoraks totalis dan parsialis. Sementara menuju jenis fistel yang
terbentuk, pneumotoraks dikelompokkan menjadi pneumotoraks terbuka, tertutup
dan ventil (1,3,4).
Penggolongan
yang banyak berkaitan dengan manifestasi klinik dan penanganan adalah menurut
jenis fistel yang ada. Pada kasus pneumotoraks terbuka, udara bebas keluar
masuk rongga pleura karena terdapat hubungan langsung yang terbuka antara
bronkus atau udara luar dengan rongga pleura; tekanan di dalam rongga pleura
sama dengan tekanan atmosfir. Pada pneumotoraks tertutup sudah tidak terdapat
aliran udara antara rongga pleura dengan bronkus atau dunia luar karena fistel
sudah tertutup; tekanan rongga pleura dapat sama, lebih tinggi atau lebih
rendah dan tekanan atmosfir. Sedangkan pada pneumotoraks ventil, udara dan
bronkus atau dunia luar dapat masuk ke dalam rongga pleura pada saat inspirasi
tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi karena terdapat fistel yang
bersifat sebagai katup. Makin lama volume dan tekanan udara di dalam rongga
pleura makin tinggi akibat penumpukan udara di dalam rongga pleura (1,2,3). Jenis fistel
dapat berubah dan waktu ke waktu; pneumotoraks terbuka dapat secara mendadak
berubah menjadi pneumotoraks tertutup atau bahkan pneumotoraks ventil, demikian
sebaliknya (3,4).
PENYEBAB
DAN KEKERAPAN PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks
dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor penyebabnya (pneumotoraks
spontan idiopatik). Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan pneumotoraks
adalah tuberkulosis paru, pneumonia, abses
paru, infark paru, keganasan, asma, dan penyakit paru obstruktif menahun.
Bentuk ini dikenal sebagai pneumotoraks spontan simtomatik. Pneumotoraks
adakalanya dibuat secara sengaja untuk tujuan diagnostik dan terapetik (1). Adapun
pneumotoraks traumatik terjadi akibat trauma
tembus atau tidak tembus, dan seringkali bersifat iatrogenik akibat tindakan
medik tertentu, seperti trakeostomi, intubasi
endotrakea, kateterisasi vena sentralis, atau biopsi paru (1,2,4).
Insiden
pneumotoraks diperkirakan sebesar 9 per 100.000 orang per tahun. Jenis yang
paling banyak ditemukan adalah pneumotoraks spontan, terutama dijumpai pada
penderita laki-laki dengan badan kurus dan tinggi, berumur 20-40 tahun.
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5: 1, dan lebih banyak
terdapat pada hemitoraks kanan, sementara pneumotoraks bilateral sebanyak 2 %
dan semua pneumotoraks spontan (3,4).
DIAGNOSIS
Gejala
Klinik
Keluhan
utama yang diungkapkan penderita adalah nyeri dada
disertai sesak nafas yang timbul secara mendadak. Batuk acapkali juga
ditemukan. Rasa nyeri bersifat menusuk di daerah hemitoraks yang terserang dan
bertambah berat pada saat bernafas, batuk dan bergerak. Nyeri dapat menjalar ke
arah bahu, hipokondrium atau tengkuk. Rasa nyeri ini disebabkan oleh perdarahan
yang terjadi akibat robekan pteura viseralis dan darah menimbulkan iritasi pada
pleura viseralis (1,5,6).
Sesak
nafas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang terkena dan gangguan
pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami kegagalan pernafasan
akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya pneumotoraks adalah asma
atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada umumnya tidak produktif,
terutama pada pneumotoraks spontan idiopatik. Keluhan lain yang dapat dijumpai
tergantung pada kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks (1,3,4).
Tanda
Klinik
Penderita
dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan syok. Dapat ditemukan
hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per
menit, akral dingin, serta pelebaran pembuluh darah vena leher dan dada.
Tekanan dalam rongga pleura yang
tinggi
dan pendorongan mediastinum beserta isinya ke arah sisi yang sehat akan
mengganggu aliran balik darah vena ke dalam jantung, sehingga curah jantung
menurun dan menyebabkan syok kardial. Perlu diingat bahwa syok juga dapat
disebabkan oleh perdarahan masif di dalam rongga pleura (2,3,5).
Pada inspeksi
tampak hemitoraks yang terkena cembung dengan ruang sela iga yang melebar dan
tertinggal pada pernafasan, iktus kordis bergeser ke sisi yang sehat dan trakea
juga terdorong ke sisi yang sehat. Pada palpasi didapatkan fremitus
suara melemah, iktus kordis dan trakea bergeser ke sisi yang sehat. Perkusi
di daerah paru yang terserang terdengar hipersonor dan diafragma terdorong ke
bawah. Batas-batas jantung bergeser ke sisi yang sehat. Suara nafas pada auskultasi melemah
sampai menghilang pada bagian paru yang terkena (1,4,5).
Gambaran
Radiologik
Terlihat
gambaran yang khas; bagian yang berisi udara akan tampak hiperlusen (lebih
gelap) tanpa corakan jaringan paru. Jaringan paru yang menguncup terlihat di
daerah hilus dengan garis batas yang sangat harus. Juga terlihat mediastinum
beserta isinya terdorong ke sisi yang sehat. Apabila disertai darah atau
cairan, maka akan tampak garis batas mendatar yang merupakan batas antara udara
dan cairan (3,4,5).
Penanganan
Setelah
diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan
nyawa penderita. Sebuah jarum atau Abbocath berukuran besar harus segera
ditusukkan ke dalam rongga pleura pada ruang sela iga ke dua linea
mideo-klavikularis untuk mengeluarkan udara dan dalam rongga pleura. Apabila
ragu-ragu terhadap kebenaran diagnosis, jarum dapat dihubungkan dengan semprit.
Jika memang benar, maka penghisap (piston semprit) akan terdorong atau udara di
dalam rongga pleura akan mudah dihisap (3,5). Bahaya tertusuknya paru tidak perlu dihirau-kan, karena tidak berarti
dibandingkan dengan hasil yang di-peroleh melalui tindakan tersebut (3).
Pangkal
jarum dihubungkan dengan selang infus dan bagian ujung selang lainnya
dimasukkan ke dalam botol berisi air kira-kira 2 cm di bawah permukaan air,
sehingga menjadi sebuah Water Sealed Drainage (WSD) mini (1,5). Jika WSD dapat berfungsi dengan baik, maka akan terlihat keluarnya
gelembung-gelembung udara ke permukaan air. Selanjutnya penderita dapat segera
dikirim ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih baik serta
pemeriksaan lebih lengkap untuk menemukan
kemungkinan penyakit yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Semua penderita
kegawatan medik ini harus dirawat di rumah sakit.
Di
rumah sakit selanjutnya dilakukan pemasangan WSD, dengan sistem satu, dua atau
tiga botol Pada sistem satu botol, ujung selang dan rongga pleura dimasukkan ke
dalam botol yang berisi air. Jika ujung selang tidak berada di dalam air, udara
dari luar dapat masuk ke dalam rongga pleura. Pada WSD sistem dua botol
terdapat satu botol tambahan untuk mengumpulkan cairan yang tidak mempengaruhi
botol dengan selang yang terdapat di bawah permukaan
air. Sementara pada sistem tiga botol terdapat botol kontrol penghisap yang
tekanannya dapat diatur sesuai dengan tekanan rongga pleura yang diinginkan (7). Keberhasilan penanganan pneumotoraks dengan WSD dipengaruhi oleh
pemeliharaan WSD; ujung selang tidak jarang tergantung di atas permukaan air,
sehingga udara dan luar justru mengalir masuk ke dalam rongga pleura (3).
Selang
WSD dapat dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui ruang sela
iga ke 2 linea mid-klavikularis atau ruang sela iga ke 7, 8 atau 9 linea
aksilaris media. Setelah daerah penusukan yang terpilih dibersihkan,
selanjutnya dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%. Untuk mendapatkan efek
anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu sekitar 5-10 menit.
Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 2 cm sampai
subkutis dan kemudian dibuka secara tumpul dengan kiem sampai mendapatkan
pleura parietalis. Pleura ditembus dengan gunting tajam yang ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda
pleura parietalis telah terbuka). Selang dimasukkan ke dalam trokar dan
kemudian dimasukkan bersama-sama melalui lubang pada kulit ke dalam rongga
pleura. Apabila dipakai selang tanpa trokar, maka ujung selang dijepit dengan
klem tumpul untuk mempermudah masuk nya selang ke dalam rongga pleura. Jika
posisi selang sudah benar, kulit di sekitar selang dijahit dengan jahitan
sarung guling dan sisa benang dililitkan pada selang (7,8).
Apabila
setelah pemasangan WSD paru tidak dapat mengembang
dengan baik, maka dapat dilakukan penghisapan secara berkala atau terus
menerus. Tekanan yang biasanya digunakan berkisar antara -12 sampai -20 cm air (1,5).
Beberapa
komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan WSD adalah empiema, laserasi
paru, perforasi diafragma, selang masuk ke dalam subkutan, perdarahan akibat
ruptur arteri interkostalis dan edema paru akibat pengembangan paru yang
mengempis secara mendadak (3,7,8).
Pencabutan WSD
Setelah paru mengembang,
yang ditandai terdengarnya kembali suara
nafas dan dipastikan dengan foto toraks, maka selang WSD diklem selama 13
hari. Pengembangan paru secara sempurna selain dapat dilihat pada foto toraks
biasanya
dapat
diperkirakan jika sudah tidak terdapat undulasi lagi pada selang WSD. Apabila
setelah diklem selama 13 hari paru tetap mengembang, maka WSD dapat dicabut.
Pencabutan selang WSD dilakukan dalam keadaan ekspirasi maksimal (3,5).
Pleurodesis
dan Torakotomi
Pleurodesis
adalah tindakan melekatkan pleura panietalis dengan pleura viseralis untuk
mencegah kekambuhan pneumotoraks. Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan
bahan kimia tertentu, seperti glukosa 40% sebanyak 20 ml atau tetrasiklin HCl
500 mg dilarutkan dalam 2550 ml garam faal. Karena
tetrasiklin dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat, maka pemberian bahan ini
sebaiknya didahului dengan pemberian analgesik (1,4,5).
Torakotomi
adalah operasi pembukaan rongga toraks kemudian dilanjutkan dengan penjahitan
fistel pada pleura. Operasi ini diindikasikan pada kasus pneumotoraks kronik,
pneumotoraks yang berulang 3 kali atau lebih, pneumotoraks bilateral, serta
jika pemasangan WSD mengalami kegagalan (paru tidak mengembang atau terjadi
kebocoran udara yang menetap (1,4).
PROGNOSIS
Prognosis
pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan
dan kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua penderita
dapat diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini (1,3). Sekitar
separuh kasus pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang
berhasil (4).
PENUTUP
Pneumotoraks
merupakan suatu kegawatan medik sehingga perlu diketahui dan diatasi secara
dini. Dengan
penanganan yang tampaknya sederhana, banyak nyawa penderita
kegawatan ini dapat diselamatkan.
KEPUSTAKAAN
1. Koentjahja,
Abiyoso, Agung S, Muktyati S. Pneumotoraks dan Penatalaksanaannya. Kumpulan
Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat Paru, Surakarta, 3 Juli 1993; 3945.
2.
Suwento R,
Fachruddin D. Emfisema Mediastinum dan Pneumotoraks Pasca Trakeostomi. ORLI
1991; XXII (4): 10312.
3.
PDPI Cabang
Jakarta. Pneumotoraks. Kumpulan Makalah Seminar Penanggulangan Keadaan Darurat
pada Paru dan Saluran Pernafasan, Surakarta, 8 November 1986; 115.
4. StafferJL. Spontaneous Pneumothorax.
In: SchroederAS. et al (ed). Current Medical Diagnosis and Treatment.
Connecticut, USA: Appleton & Lange 1989; 18991.
5.
Suryatenggara W.
Pneumotoraks. Dalam: Yunus, F. dkk (ed). Pulnionologi Klinik. PB FKUI, 1992; 185187.
6.
Tjandrasusilo H.
Nyeri Dada. Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat Paru,
Surakarta, 3 Juli 1993; 2 126.
7.
Syafiuddin T.
Pemasangan Selang Toraks. Majalah Dokter Keluarga, 1992; 11(1): 6770.
8. Lubis HNU. Penatalaksanaan Efusi Pleura pada Anak. Majalah Kedokteran
Indonesia, 1991; 14(10): 62226.
Cermin Dunia Kedokteran
No. 101, 1995 18
Cermin Dunia Kedokteran
No. 101, 1995 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar