Suatu jenis Pemeriksaan Serologi.
Uji widal positif artinya ada zat anti (antibodi) terhadap kuman
Salmonella, menunjukkan bahwa seseorang pernah kontak/terinfeksi dengan
kuman Salmonella tipe tertentu.
Beberapa hal yang sering disalahartikan :
1. Pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh, hal ini
pengertian yang salah. Uji widal hanya menunjukkan adanya antibodi
terhadap kuman Salmonella.
2. Pemeriksaan widal yang diulang setelah pengobatan dan menunjukkan
hasil positif dianggap masih menderita tifus, ini juga pengertian yang
salah.
Setelah seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil uji
widal tetap positif untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat
digunakan sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan.
Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah mendapat pengobatan tifus,
bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bilamana tidak lagi
didapatkan gejala yang sesuai.
Hasil uji negatif dianggap tidak menderita tifus :
Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif 5 hari atau lebih setelah
infeksi. Karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari, sering
kali hasilnya masih negatif dan baru akan positif bilamana pemeriksaan
diulang. Dengan demikian,hasil uji widal negatif,terutama pada beberapa
hari pertama demam belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus.
Untuk menentukan seseorang menderita demam tifoid :
1. Tetap harus didasarkan adanya gejala yang sesuai dengan penyakit tifus.
2. Uji widal hanya sebagai pemeriksaan yang menunjang diagnosis.
Seorang tanpa gejala,dgn uji widal positif tidak dapat dikatakan menderita tifus.
Memang terdapat kesulitan dalam interpretasi hasil uji widal karena kita
tinggal di daerah endemik,yang mana sebagian besar populasi sehat juga
pernah kontak atau terinfeksi, sehingga menunjukkan hasil uji widal
positif. Hasil survei pada orang sehat di Jakarta pada 2006 menunjukkan
hasil uji widal positif pada 78% populasi orang dewasa. Untuk itu perlu
kecermatan dan kehatihatian dalam interpretasi hasil pemeriksaan widal.
PENILAIAN
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
- Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
- Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
- Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.
Uji Widal didasarkan pada :
- Antigen O ( somatic / badan )
- Antigen H ( flagel/semacam ekor sebagai alat gerak )
Jika masuk ke dalam tubuh kita, maka timbul reaksi antigen-antibodi.
ANTIBODI terhadap Antigen O : setelah 6 sampai 8 hari dari awal penyakit.
Antigen H : 10-12 hari dari awal penyakit.
Uji ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas sedang (moderate).
Pada kultur yang terbukti positif, uji Widal yang menunjukkan nilai negatif bisa mencapai 30 persen.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
1. Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh
dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
2. Positif Palsu
- Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A,
B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
- Beberapa penyakit lainnya : malaria, tetanus, sirosis, dll.
Pada daerah yang endemik seperti Indonesia (apalagi Jakarta, bagi yang
hobi makan gado-gado, ketoprak ) ditentukan nilai batas minimal pada
populasi normal.
Sehingga kemungkinan seseorang menderita demam tifoid sangat besar pada nilai minimal titer tertentu.
Diagnosa Pasti : GAL CULTURE ( waktu yg dibutuhkan : +/- 1 minggu ).
CARIER
Sulit untuk menghilangkan sifat ‘carrier’ (titer antibodi dalam darah kita menjadi negatif), mengingat Indonesia endemik tifoid.
Tapi ini tidak masalah. Yang penting tidak jatuh sakit.
disadur dari http://marizal-co-ass.blogspot.co.id/search/label/Widal%20Test
Cari Blog Ini
Tampilkan postingan dengan label IPD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IPD. Tampilkan semua postingan
12/05/16
Prosedur Nebulizer
Pengertian
Nebulaizer adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengencerkan dahak dan melonggarkan jalan nafas
Tujuan
Sebagai acuan tindakan nebulaizer
Kebijakan
Dibawah tanggung jawab dan pengawasan dokter
Peralatan nebulizer standar
Prosedur
PERSIAPAN ALAT :
1. tabung O2
2. Obat untuk bronchodilator antara lain : ventolin, dexamethasone
3. Masker oksigen
4. Nebulaizer
PERSIAPAN PASIEN :
1. Pasien/keluarga diberi penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan
2. Pasien diatur sesuai kebutuhan
PELAKSANAAN :
1. Perawat cuci tangan
2. Mengisi ventolin pada nebulezer
3. Mengisi pada tempat humidifaier dengan bronchodilator misalnya : ventolin (sabutamol) atau kadang diberi dexamethasone pada status asmatikus.
4. Memasang masker pada pasien
5. Nebulaizer dinyalakan
6. Observasi pasien
7. Selesai dilakukan tindakan pasien dirapikan
8. Alat-alat dibereskan dan dikembalikan
9. Perawat cuci tangan
disadur dari http://marizal-co-ass.blogspot.co.id/search/label/Nebulaizer
Nebulaizer adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengencerkan dahak dan melonggarkan jalan nafas
Tujuan
Sebagai acuan tindakan nebulaizer
Kebijakan
Dibawah tanggung jawab dan pengawasan dokter
Peralatan nebulizer standar
Prosedur
PERSIAPAN ALAT :
1. tabung O2
2. Obat untuk bronchodilator antara lain : ventolin, dexamethasone
3. Masker oksigen
4. Nebulaizer
PERSIAPAN PASIEN :
1. Pasien/keluarga diberi penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan
2. Pasien diatur sesuai kebutuhan
PELAKSANAAN :
1. Perawat cuci tangan
2. Mengisi ventolin pada nebulezer
3. Mengisi pada tempat humidifaier dengan bronchodilator misalnya : ventolin (sabutamol) atau kadang diberi dexamethasone pada status asmatikus.
4. Memasang masker pada pasien
5. Nebulaizer dinyalakan
6. Observasi pasien
7. Selesai dilakukan tindakan pasien dirapikan
8. Alat-alat dibereskan dan dikembalikan
9. Perawat cuci tangan
disadur dari http://marizal-co-ass.blogspot.co.id/search/label/Nebulaizer
Tatalaksana Diare ala Puskesmas
Mengetahui gejala , tanda tingkat dehidrasi dan prinsip tindakan atau ( rehidrasi )
Tujuan
Sebagai acuan tatalaksana penderita GE agar petugas menyatakan tanda , gejala , tingkat dehidrasi dan mampu menghitung kebutuhan cairan.
Kebijakan
Sikap petugas harus mampu menyatakan tanda gejala dan tingkat dehidrasi serta mampu mengukur kebutuhan cairan bagi penderita.
Prosedur
1. Gejala yang menonjol dari GE adalah muntah dan berak serta berulang, sehingga berakibat kehilangan cairan / dehidrasi.
2. Dehidrasi secara klinik dibedakan 3 langkah :
a. Dehidarasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % BB
b. Dehidrasi sedang
Kehilangan cairan 5 -8 % BB
Gambaran klinik : Turgon jelip suara serak, nadi cepat, nafas cepat, pre shok
c. Dehidrasi Beratat
Kehilangan cairan : 8 – 10 % BB
Gambaran klinik : syok, apatis, syonotik, kejang, sampai koma
3. Prinsip tindakan adalah Rehidrasi sesuai dengan tingkatan dehidrasi:
a. Dehidrasi ringan dilakukan rehidrasi peroral.
b. Dehidrasi sedang dan berat dilakukan rehidrasi parenteral dengan Infus cairan.
4. Penderita di MRS kan
Dalam 3 jam pertama diharapkan penderita berubah status tingkat dehidrasi menjadi dehidrasi ringan.
Tujuan
Sebagai acuan tatalaksana penderita GE agar petugas menyatakan tanda , gejala , tingkat dehidrasi dan mampu menghitung kebutuhan cairan.
Kebijakan
Sikap petugas harus mampu menyatakan tanda gejala dan tingkat dehidrasi serta mampu mengukur kebutuhan cairan bagi penderita.
Prosedur
1. Gejala yang menonjol dari GE adalah muntah dan berak serta berulang, sehingga berakibat kehilangan cairan / dehidrasi.
2. Dehidrasi secara klinik dibedakan 3 langkah :
a. Dehidarasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % BB
b. Dehidrasi sedang
Kehilangan cairan 5 -8 % BB
Gambaran klinik : Turgon jelip suara serak, nadi cepat, nafas cepat, pre shok
c. Dehidrasi Beratat
Kehilangan cairan : 8 – 10 % BB
Gambaran klinik : syok, apatis, syonotik, kejang, sampai koma
3. Prinsip tindakan adalah Rehidrasi sesuai dengan tingkatan dehidrasi:
a. Dehidrasi ringan dilakukan rehidrasi peroral.
b. Dehidrasi sedang dan berat dilakukan rehidrasi parenteral dengan Infus cairan.
4. Penderita di MRS kan
Dalam 3 jam pertama diharapkan penderita berubah status tingkat dehidrasi menjadi dehidrasi ringan.
PENGGUNAAN ATS / ADS
Memberikan suntikan ATS/ADS
kepada pasien TTT, untuk menetralisir Endotoxin yang dihasilkan oleh kuman
tetanus / difteri sehingga mencegah prognosa yang jelek, disuntikan secarav IM
( Intra Muskular )
Gunanya untuk :
·
Menetralisir endotoxin dari kuman tetanus /
difteri
·
Mengurangi kematian dan kecacatan
Operasional dilakukan pada :
·
Pasien tetanus / tetanus neonaterum
·
Pasien difteri
A. PERSIAPAN
I. Persiapan Klien
- Pasien diberi penjelasan
tentang tindakan yang akan dilakukan
II. Persiapan Alat
- Bak spuit, Disposible 3 ccC 3
buah
- Disposisble 5 cc 1 buah
- Kapas alkohol
- Bengkok
B. PELAKSANAAN
- Perawat cuci tangan
- Pasien diberitahu prosedur yang
akan dilakukan
- Sebelum disuntikan lakukan skin
test dulu secara intra cutan
- Amati reaksi Skin test
a. Bila hasil negatif ( -)
ATS/ADS langsung disuntikan secara intra muskuler ( IM )
b. Bila hasil (+) positif, obat
harus disuntikan secara besredka
- Cara pelaksanaan suntikan
Besredka :
i. 0,1 ATS / ADS + 0,9 NaCl,
disuntikan secara Intra Cutan
ii. 0,5 ATS / ADS + 0,5 NaCl,
disuntikan secara Sub Cutan, tunggu sampai 30 menit, pada deltoid kanan
iii. 0,5 ATS / ADS + 0,5 NaCl,
disuntikan secara Sub Cutan, pada deltoid kiri tunggu 30 menit
iv. Selanjiutnya sisa obat
diberikan secara Intra Muskuler
C. EVALUASI
Mencatat hasil tindakan dan
respon pasien pada dokumen asuhan keperawatan
21/04/16
Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga
penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau
batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma
pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak
ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh
gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.
Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada
penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons
dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun
hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis,
dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis
asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
1.
Anamnesis
Ada beberapa hal
yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau
mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu
berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan
beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada
malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam
keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian
yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan
apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah
atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.
2.
Pemeriksaan
klinis
Untuk menetukan
diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya episode
gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering
ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks.
Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi
dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.
3.
Pemeriksaan
penunjang
a.
Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
b.
X-ray
toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
c.
Pemeriksaan
IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
d.
Petanda
inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan
napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein
(ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset.
- Uji
hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.
CANDIDIASIS PADA IMMUNOKOMPROMAIS
IMMUNOPATOFISIOLOGI
CANDIDIASIS PADA PASIEN IMMUNOKOMPROMAIS
Pendahuluan
Fungsi
utama system imun adalah mencegah infeksi dan menyingkiurkan mikroba yang sudah
ada dalam jaringan. System imun terdiri atas imunitas nonspesifik (alamiah,
innate, native) dan spesifik (acquired, adaptif). Sistem nonspesifik yang
bekerja baik ditemukan pada individu sehat, siap menyerang dan menyingkirkan
mikroba yang masuk ke dalam tubuh dengan cepat. Imunitas spesifik baru
dirangsang oleh mikroba maupun yang berhasil memasuki tubuh. Reaksi imunitas
spesifik dapat diarahkan terhadap mikroba maupun terhadap antigen nonmikroba.
Imunitas spesifik juga memberikan sinyal ke system imun spesifik dan
sebaliknya, imunitas spesifik dapat mengaktifkan imunitas nonspesifik untuk
membantu menyingkirkan mikroba.
Awal
kerja system imun
Neutrofil,
monosit dan makrofag (semua disebut fagosit) merupakan komponen sistem imun non
psesifik yang menggunakan berbagai reseptor membrane/molekul permukaan untuk
mengenal dan menangkap mikroba. Pengenalan tersebut merupakan awal fungsi sel
imun nonspesifik/fagosit untuk menyingkirkan mikroba yang berhasil masuk tubuh.
Ikatan reseptor fagosit dan mikroba akan mengaktifkan fagosit untuk membunuh
mikroba. Fagosit yang diaktifkan memproduksi sejumlaj mediator dan sitokin
antara lain TNF-α yang selanjutnya merangsang endotel untuk memproduksi
berbagai kemokin dan meningkatkan fagosit bermigrasi ke tempat inflamasi untuk
menyingkirkan mikroba.(simpo)
Defisiensi
Imun (Imunocompromis)
Berbagai
keadaan dalam klinik dapat menimbulkan fungsi system imun yang terganggu ayau
defisiensi imun (imunokompromis) sehingga tubuh tidak dapat menyingkirkan
mikroba yang masuk le dalam tubuh atau mikroba yang sudah ada dalam tubuh dan
hibup intraselluler. Adanya defisiensi di klinik harus dicurigai bila ditemukan
adanya tanda-tanda kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan protozoa,
infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaaan biasa mempunyai virulensi
rendah, infeksi bakteri piogenik, infeksi bakteri atau autoimunitas. Defisiensi
imun dapat terjadi fisiologik misalnya pada kehamilan, pada usia satu tahun
pertama sampai usia 5 tahun dan usia lanjut.(simpo_)
Imunodefisiensai
sekunder atau didapat merupakan defisiensi yang tersering ditemukan. Defisiensi
tersebut dapat mengenai fungsi fagosit. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan
defisiensi imun sekunder adalah proses penuaan, malnutrisi, mikroba, penggunaan
obat imunosupresirf, sitotoksik/ radiasi, tumor, trauma, tindakan kateterisasi
dan bedah penyakit lain seperti diabetes. Defisiensi dapat juga terjadi karena
tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada apenyakit ginjal dan
diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG,
IgA yang berarti dengan IgM normal.(swimpo)
Candidiasis
Candidiasis
adalah bentuk umum untuk penyakit yang disebabkan oleh spesies candida dan
mencakup kolonisasi, infeksi superficial, invasi local (dalam), dan penyebaran
hematogen. Penyebab tersering adalah dari jenis spesies Calbicans, C tropicalis
dan Torulopsis glabrata. Candida albicans umumnya menyebabkan infeksi
superficial kronis pada mukosa penjamu dengan defek pada cell-mediated immunity
(CMI), terutama pada HIV-infected pasien.(net)
Gambaran
imunologis utama candidiasis
• Sumber infeksi umumnya dari flora
normal host sendiri
• Barier mukosa yang intak
menggambarkan mekanisme pertahanan utama host yang nonspesifik
• Fagosit menelan ragi namun menyerang
pseudomyselia dan myselia
• Keadaan neutropenia merupakan
predisposisi dari penyebaran hematogen
• Defek Cmi predisposisi bagi penyaikit
invasi mukosa
• Sariawan ,oesofagitis dan vaginitis
adalah gambaran utama pada AIDS
• Candidiasis mukokutan cronik adalah
sindrom spesifik pada pasien dengan defek imunoregulator (BCI)*
1. Respon imun
Respon
imun dimulai sewaktu ada picuan oleh antigen yang masuk ke dalam tubuh dan
bertemu dengan macrofag sebagai APC (Antigen Presenting cel) yang akan
mensekresikan IL-1 (sitokin autocrine) yang berguna untuk dan bergabung dengan
HLA klas II sehingga membentuk MHC klas II.Komplek ini akan dipresentasikan
pada sel T helper. Sel T helper akan mengalami aktivasi dan mulai menghasilkan
sitokin yang dikenal sebagai interleukin-2 (IL-2) dan juga mulai memperlihatkan
afinitas reseptor yang tinggi pada permukaannya. Il-2 merupakan sitokin
mitogenik yang sangat poten untuk limfosit T dan berguna untuk proliferasi dari
sel T. Il-2 juga sangat berguna untuk aktivasi sel Tc dan untuk memicu
proliferasi sel ini. Oleh karena akutoaktivasi dari IL-2 sel Th akan mensekresi
sitokin yang lain yang akan memacu pertumbuhan, diferensiasi, dan fungsi dari
sel B, macrofag dan sel yang lain. Selain IL-2 sel Th juga menghasilkan Il-4
dan Il-6 yang dapat mengaktivasi sel B sebagian untuk menjadi sel plasma yang
nantinya akan mensekresikan antibodi spesifik. (*BCI)
Fungsi
dari limfosit Tc adalah untuk mengeradikasi sel yang memperlihatkan antigeb
asing pada permukaannya seperti pada sel yang terinfeksi virus. Kebanyakan sel
Tc memperlihatkan CD8 daripada CD4 oleh sebab itu pengenalan terhadap antigen
lebih kepada MHC klas 1. ketika sebuah sel somatik terinfeksi virus, didalam
sel ini mungkin tejadi proses pembentukan protein virusakibatnya mungkin
rangkaian peptida terlihat pada permukaan dan membentuk kompleks dengan MHC
klas 1. kompleks peptida dan MHc klas1 ini kemudian dikenal oleh reseptor sel
Tc yang kemudian akan menyebabkan aktivasi dari limfosit Tc yang
memungkinkannya untuk dapat membunuh ikatan ini. (Kompleks MHC klas 1
–peptida).
2. Imunocompromis
Imunocopromis
adalah suatu kondisidimana satu atau lebih defek terdapat pada respon imun
alami dan adaptif yang mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi yang dapat
berubah menjadi bahaya pada pasien.
Gangguan
respon imun ini dapat menyebabkan tejadinya infeksi. Berikut merupakan
kondisi-kondisi bilamana gangguan dapat terjadi:
1. defek pada respon imun humoral;
defisiensi komplemen dan antibodi, menyebabkan gangguan pada opsonifikasi dan
baktericidal.
2. defek pada sistem imun seluler:
gangguan pada sistem fagosit (neutrofil dan macrofag) dan imun seler spesifik.
3. status imun dasar : perbedaan pada
capabilitas alami dalam memproduksi TNF
4. penggunaan imunosupresan
5. cancer dan penyakit autoimun, diabetes,
sirosis hepatis dan CRF.
Tipe
Imunocompromis
Faktor
Predisposisi Dampak pada sistem imun Tipe Infeksi
Obat2an
sinar X yang imun osupresif, allograft recipients (ginjal, sumsum tulang, hati)
dan terapi kanker. Penurunan
imunitas seluler dan humoral Infeksi
pulmonal, bacteremia, fungal infection, ISK. Virus (rubella, herpes, EB virus,
hepatitis virus, HIV) Replikasi
virus pada sel limphoid menyebabkan gangguan fisiologis Infeksi bakterial; sekunder(fungal dan protozoa) pada AIDS.
Malnutrisi Hipoplasi limfoid,
penurunan limfosit dalam sirkulasi, penurunan kemampuan fagositosis. Campak,
TBC, ISPA, infeksi gastrointestinal. Tumor Perubahan
pada sistem imun sel Bacteremia, pneumonia, ISK. Asap rokok,partikel inhalasi
(silika, spora jamur) Inflamasi
pulmonal, pengendapan imun komplek ISPA,
respon alergi. Penyakit endokrin kronis (diabetes) Penurunan kemampuan fagositosis Infeksi
Staphylococcus, TBC, ISPA, Bacterremia. Defisiensi imun primer Penurunan imun seller dan humoral. Infeksi
Staphylococcus, TBC, ISPA, Bacterremia. Dalam penelitian yang dilakukan
Prof.Guntur dengan membandingkan pasien dengan imunokompromis dengan yang bukan
imonokompromis menunjukan hasil bahwa TNF-alpha pada IC pasien lebih tinggi
daripada pasien NIC. TNF-alphaadalah suatu sitokin yang yang dihasilkan
macrofag. Peningkatan TNF-alpha menyebabkan penekanan terhadap sumsum tulang,
limfopenia, peningkatan sistem koagulasi dengan cara mempengarugi keseimbangan
antara procoagulan dan anticoagulan, dan juga mengakibatkan proteolitic
musculer, yang mengarah pada kejadian cachexia yang menyebabkan
imunodefisiensi.
Selain
itu derejat dari IL-10 pada pasien IC juga lebih tinggi dibanding pasien NIC.
Hal ini mengindikasikan pada pasien IC terjadi kerusakanfungsi dari limfosit
Th2 (tidak lagi fisiologis). IL-10 merupakan sitokin yang diproduksi oleh
limfosit Th2 sewsudah distimulasi oleh APC sebagai sitokin antiinflamasi..
Selain
itu juga terjadi peningkatan IgG yang mengindikasikan gangguan pada sistem imun
humoral. Peningkatan IgG menyebabkan pasien rentan terjadi kerusakan sel
endotel.. pada pasien IC terjadi penurunan konsentrasi plasma C3. C3 adalah
molekul dari sistem imun nonspesifik yang dalam keadaan inaktif larut dalam
plasma. C3 dapat diaktifkan sewaktu-waktu oleh suatu substansi contoh antigen,
toxin, imuncomplek. C3 merupakan komplemen yang diperlukan untuk opzonifikasi,
khemotaksis, dan mengeliminir komplek antigen-antibodi, sehingga komplemen ini
dapat melisiskan dinding bakteri. Sehingga penurunan dari C3 mengakibatkan
penurunan pertahananterhadap bakteri, sehingga rawan infeksi.
3. Aspek Imunologis Infeksi Candida
1. Virulensi Jamur Candida
Terdapat
dua faktor virulensi Candida :
1. Dinding Sel
Faktor
virulensi Candida yang menentukan adalah dinding sel. Dinding sel berperan
penting karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu.
Dinding sel Candida mengandung zat yang penting untuk virulensinya, antara lain
turunan mannoprotein yang mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi
pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu. 1,2
Candida
tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase
aspartil membantu Candida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus
lapisan mukokutan yang berkeratin. 1,3
2. Sifat dimorfik Candida
Faktor
virulensi lain adalah sifat dimorfik Candida. Yaitu kemampuan Candida berubah
bentuk menjadi pseudohifa. Bahkan sebagian peneliti menyatakan sifatnya yang
pleomorfik. Sifat morfologis yang dinamis merupakan cara untuk beradaptasi
dengan keadaan sekitar. Terdapat dua bentuk utama Candida : 1, 2
o Bentuk ragi (spora)
o Bentuk pseudohifa ( hifa, miselium,
filamen).
Dalam
keadaan patogen, C. albicans lebih banyak ditemukan dalam bentuk pseudohifa
dibandingkan bentuk spora.
Bentuk
hifa mempunyai virulensi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena :
Ukurannya lebih besar dan lebih sulit
difagositosis oleh sel makrofag, sehingga mekanisme di luar sel untuk
mengeliminasi pseudohifa dari jaringan terinfeksi sangatlah penting.
Terdapatnya titik-titik blastokonidia
multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih
besar.
Perubahan
dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan lingkungan
sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa yang lebih
invasif juga dipengaruhi imunitas selular. IFN-γ memblok transisi bentuk sel
ragi menjadi bentuk pseudohifa. 1
2. Imunomodulasi dan Adhesi
Terdapat
dua aspek utama dalam interaksi antara pejamu dan parasit, yaitu imunomodulasi
respons imun pejamu serta adesi sel jamur pada hospes. 1
1. Imunomodulasi respons imun pejamu
Imunomodulasi
adalah kemampuan potensial sel Candida dalam memodulasi sistem imunologi
pejamu, berupa rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun
pejamu.1
Zat
seperti khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam
dinding sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respons tersebut di
antaranya menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat
shock proteins (hsp). Pada Candida, hsp juga berperan dalam merangsang respons
imun pejamu, di samping perannya dalam proses pertumbuhan. Pada Candida terdapat
dua famili hsp yang dikenal, yaitu hsp90 dan hsp70.1
2. Adhesi sel jamur pada hospes
Aspek
interaksi yang kedua adalah adhesi yang merupakan syarat terjadinya kolonisasi.
Dengan adhesi Candida melekat pada sel epitel, sel endotel, faktor terlarut, dan
matriks ekstraselular. Interaksi antara Candida dengan pejamu melibatkan sel
fagosit, sel organ pejamu yang terinfeksi, matriks ekstraselular, dan protein
yang terlarut dalam serum. 1
Protein
yang berperan sebagai mediator adhesi dikelompokkan sebagai berikut : 1,2
• Protein serum (serum albumin dan
transferin, fibrinogen, fragmen komplemen C3d, fragmen komplemen iC3b).
• Protein matriks ekstraselular
(laminin, fibronectin, entactin, vitronectin, kolagen).
• Mannan adhesins dan protein pengikat
lain (mannan adhesins, protein hidrofobik, fimbriae, plastic-binding protein,
epithelial binding lectin-like protein, aglutinin-like proteins, adhesi pada
Streptococcus spp., bakteria lain)
• Adhesi pada protein saliva.
3. Respon Imunologis pada Infeksi Candida
Secara
umum, percobaan pada tikus memberi kesan bahwa imunitas selular dan humoral
mempunyai peranan mayor dan minor dalam sistem pertahanan terhadap infeksi
Candida. Sistem kekebalan yang berperan terhadap Candida adalah sistem
kekebalan selular, limfosit T bertindak selaku regulator utama. Sel CD4+ dan
CD8+ mempunyai peranan dalam respons pejamu terhadap infeksi Candida dan
merupakan komponen sentral dalam pertahanan pejamu yang memproduksi sitokin. 1
Dalam
dinding sel Candida terdapat bahan polidispersi yang mempunyai berat molekul
tinggi yang menginduksi proliferasi limfosit, produksi IL-2 dan IFN-γ, serta
membangkitkan perlawanan sitotoksik sel NK. 1
Fungsi
limfosit T dalam kekebalan terhadap Candida adalah memproduksi sitokin yang
merangsang dan meningkatkan aktivitas kandidisidal sel efektor seperti sel MN
dan PMN. Sistem imun selular nonspesifik seperti yang diperankan oleh makrofag,
PMN, dan sel-sel NK lebih dominan pada infeksi sistemik dibandingkan infeksi
superfisial dan mukosal. 1
Secara
in vitro maupun in vivo diketahui bahwa sel CD4+ adalah sel T yang terlibat
dalam membangkitkan imunitas selular terhadap Candida. Sel CD8+ juga mempunyai
efek bagi pertahanan tubuh terhadap Candida, hanya lebih kecil dan tertutup
oleh CD4. Efek yang dibutuhkan dari CD4 adalah kemampuan memproduksi sitokin,
misalnya TNF-α, yang meningkatkan aktivitas sel-sel fagositik. 1
Stimulasi
sel mononuklear darah perifer manusia oleh Candida atau antigennya
mengakibatkan diproduksinya beberapa sitokin yang berbeda. Sel mononuklear
wanita sehat akan memproduksi TNF dan IL-1. 1
IL-1
merupakan sitokin yang memicu produksi IL-2 oleh Th1. IL-2 akan merangsang
replikasi Th1. Selain itu, Th1 memproduksi IFN-γ yang dapat menginhibisi
pembentukan germ tube. 1
Peranan
CD8+ dalam patogenesis dan resolusi infeksi pada kandidosis mungkin membantu
melisis PMN yang terinfeksi, memproduksi sitokin untuk mengaktivasi sel
fagosit, dan memodulasi aktivitas efektor sel-sel CD4+. Sitokin tidak hanya
penting sebagai penghubung antara limfosit T dan sel fagosit, namun juga
penting untuk koordinasi sel T. 1
4. Patologi candidiasis pada pasien
imunocompromis
Candida
albicans umumnya menyebabkan infeksi superfisial kronik pada mukosa host dengan
defek sistem imun terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Infeksi candida ini
yang sering didapatkan yaitu candidiasis oropharing. Pada infeksi jenis ini
sering ditemukan mlekul perlekatan dan invasi jaringan yang disebut SAP
(secreted aspartic proteinase) yang paling tidak ada 9 turunannya.mekanisme
pertahanan pada permukaan mukosa host terhadap C.albicans diperantarai oleh CMI
oleh sel T CD4+. Mekanisme imun ini melibatkan sitokin dari TH1,dimana yang
rentan infeksi candida adalah respon dari TH2.selain itu sekresi sistem imun
terutama IgA juga memainkan peranan.fungsi dari IgA ini telah dinpuyblikasikan
karena kemampuannya dalm menghambat perlekatan dari C.albicans pada sell epitel
buccal (Longitudinal Study of Anti-Candida albicans Mucosal Immunity Against
Aspartic Proteinases in HIV-Infected Patients)
Imunitas
protektif terhadap candida melibatkan baik sel2 alami atau adaptif dan respon
imn humoral.data saat ini memperlihatkan proteksi terhadap penyakit sistemik di
mediasi secara primer oleh imunitas alami melalui mekanisme mula2
(neutrofil)dan
imunitas humoral yang biasanya tidak sesuai pada pasien yang menerima obat2an
imunosupresif dan atau terapi sitotoksik. Kesebalikannya proteksi terhadap
penyakit candidiasis mucocutan dipercayakan terhadap CMI dan sel T yang
biasanya terganggu pada pasien dengan defisiensi imunitas berat. Data saat ini
menunjukan bahwa paien CMC memiliki susunan produksi sitokin yang berubah
sebagai respon terhadap antigen candida yaitu dengan turunnya / rendahnya
produksi IL-2, peningkatan produksi IL-6dan titer yang tinggi dari IgG dan IgA
spesifik candida jumlahnya tetap dengan jumlah produksi sitokin dati Th1 yang
rendah dan Th2 yang tinggi. Copyright © 2003, American Society for
Microbiology. (deregulated-flas ).
Menurut
wetao huang bahwa suatu mIL-17A/mIL-17AR yang merupakan sitokin proinflamatorydiperlukan
untuk pertahanan host invivo IL-17A dapat merupakan terapi potensial bagi
infeksi sistemik C.albicans pada pasien imunocompromisdengan cancer atau
sindrom penurunan imunitas didapat. Requirement of Interleukin-17A for Systemic
AntiCandida albicans Host Defense in Mice
http://www.journals.uchicago.edu/JID/journal/issues/v190n3/32115/32115.html
HUMORAL
IMMUNITY
respon
Antibody secara umum dan spesifik pada candida secara berulang-ulang menunjukan
hasil yang tetap/utuh.data dari D lilic dan I Grevenor menunjukan titer dari
spesifik antibodi IgG dan IgA yang sangat tinggi pada semua pasien.
T CELL
MEDIATED IMMUNITY AND CYTOKINES
proteksi
dari mucocutan candidiasis secara berulan-ulang menunjukan ketergantungan pada
imunitas seluler. Jelas bahwa pasien dengan defek pada sel T (kombinasi
defisiensi imun berat /Goerge syndrom), dan utamanya sel T CD4+ akn mudah
terinfeksi oleh candida (patients denganAIDS).baru-baru ini teridentifikasi
bahwa pasien yang terlahir dengan defisiensi pada reseptor i (IFN-{gamma}) dan
(IL-12) menunjukan kerentanan terhadap mycobacteria serta candidiasis
persisten. Beberapa penelitian menunjukan IFN-{gamma} dan IL-12 diperlukan
untuk keberlangsungan hidup dan pembersihan dari infeksi. © 200
Langganan:
Postingan (Atom)