Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label IPD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IPD. Tampilkan semua postingan

12/05/16

Pemeriksaan Widal Untuk Typhus

Suatu jenis Pemeriksaan Serologi.
Uji widal positif artinya ada zat anti (antibodi) terhadap kuman Salmonella, menunjukkan bahwa seseorang pernah kontak/terinfeksi dengan kuman Salmonella tipe tertentu.

Beberapa hal yang sering disalahartikan :
1. Pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh, hal ini pengertian yang salah. Uji widal hanya menunjukkan adanya antibodi terhadap kuman Salmonella.
2. Pemeriksaan widal yang diulang setelah pengobatan dan menunjukkan hasil positif dianggap masih menderita tifus, ini juga pengertian yang salah.
Setelah seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil uji widal tetap positif untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan.

Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah mendapat pengobatan tifus, bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bilamana tidak lagi didapatkan gejala yang sesuai.

Hasil uji negatif dianggap tidak menderita tifus :
Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif 5 hari atau lebih setelah infeksi. Karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari, sering kali hasilnya masih negatif dan baru akan positif bilamana pemeriksaan diulang. Dengan demikian,hasil uji widal negatif,terutama pada beberapa hari pertama demam belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus.

Untuk menentukan seseorang menderita demam tifoid :
1. Tetap harus didasarkan adanya gejala yang sesuai dengan penyakit tifus.
2. Uji widal hanya sebagai pemeriksaan yang menunjang diagnosis.
Seorang tanpa gejala,dgn uji widal positif tidak dapat dikatakan menderita tifus.

Memang terdapat kesulitan dalam interpretasi hasil uji widal karena kita tinggal di daerah endemik,yang mana sebagian besar populasi sehat juga pernah kontak atau terinfeksi, sehingga menunjukkan hasil uji widal positif. Hasil survei pada orang sehat di Jakarta pada 2006 menunjukkan hasil uji widal positif pada 78% populasi orang dewasa. Untuk itu perlu kecermatan dan kehatihatian dalam interpretasi hasil pemeriksaan widal.

PENILAIAN


Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
- Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
- Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
- Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.

Uji Widal didasarkan pada :

- Antigen O ( somatic / badan )
- Antigen H ( flagel/semacam ekor sebagai alat gerak )

Jika masuk ke dalam tubuh kita, maka timbul reaksi antigen-antibodi.

ANTIBODI terhadap Antigen O : setelah 6 sampai 8 hari dari awal penyakit.
Antigen H : 10-12 hari dari awal penyakit.

Uji ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas sedang (moderate).
Pada kultur yang terbukti positif, uji Widal yang menunjukkan nilai negatif bisa mencapai 30 persen.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
1. Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

2. Positif Palsu
- Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
- Beberapa penyakit lainnya : malaria, tetanus, sirosis, dll.

Pada daerah yang endemik seperti Indonesia (apalagi Jakarta, bagi yang hobi makan gado-gado, ketoprak ) ditentukan nilai batas minimal pada populasi normal.
Sehingga kemungkinan seseorang menderita demam tifoid sangat besar pada nilai minimal titer tertentu.

Diagnosa Pasti : GAL CULTURE ( waktu yg dibutuhkan : +/- 1 minggu ).

CARIER
Sulit untuk menghilangkan sifat ‘carrier’ (titer antibodi dalam darah kita menjadi negatif), mengingat Indonesia endemik tifoid.
Tapi ini tidak masalah. Yang penting tidak jatuh sakit.








disadur dari http://marizal-co-ass.blogspot.co.id/search/label/Widal%20Test

Prosedur Nebulizer

Pengertian
Nebulaizer adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengencerkan dahak dan melonggarkan jalan nafas

Tujuan


Sebagai acuan tindakan nebulaizer

Kebijakan


Dibawah tanggung jawab dan pengawasan dokter

Peralatan nebulizer standar

Prosedur


PERSIAPAN ALAT :

1. tabung O2

2. Obat untuk bronchodilator antara lain : ventolin, dexamethasone

3. Masker oksigen

4. Nebulaizer



PERSIAPAN PASIEN :

1. Pasien/keluarga diberi penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan

2. Pasien diatur sesuai kebutuhan



PELAKSANAAN :

1. Perawat cuci tangan

2. Mengisi ventolin pada nebulezer

3. Mengisi pada tempat humidifaier dengan bronchodilator misalnya : ventolin (sabutamol) atau kadang diberi dexamethasone pada status asmatikus.

4. Memasang masker pada pasien

5. Nebulaizer dinyalakan

6. Observasi pasien

7. Selesai dilakukan tindakan pasien dirapikan

8. Alat-alat dibereskan dan dikembalikan

9. Perawat cuci tangan









disadur dari http://marizal-co-ass.blogspot.co.id/search/label/Nebulaizer

Tatalaksana Diare ala Puskesmas

Mengetahui gejala , tanda tingkat dehidrasi dan prinsip tindakan atau ( rehidrasi )
Tujuan


Sebagai acuan tatalaksana penderita GE agar petugas menyatakan tanda , gejala , tingkat dehidrasi dan mampu menghitung kebutuhan cairan.

Kebijakan


Sikap petugas harus mampu menyatakan tanda gejala dan tingkat dehidrasi serta mampu mengukur kebutuhan cairan bagi penderita.

Prosedur


1. Gejala yang menonjol dari GE adalah muntah dan berak serta berulang, sehingga berakibat kehilangan cairan / dehidrasi.



2. Dehidrasi secara klinik dibedakan 3 langkah :

a. Dehidarasi ringan

Kehilangan cairan 2 – 5 % BB

b. Dehidrasi sedang

Kehilangan cairan 5 -8 % BB

Gambaran klinik : Turgon jelip suara serak, nadi cepat, nafas cepat, pre shok

c. Dehidrasi Beratat

Kehilangan cairan : 8 – 10 % BB

Gambaran klinik : syok, apatis, syonotik, kejang, sampai koma



3. Prinsip tindakan adalah Rehidrasi sesuai dengan tingkatan dehidrasi:

a. Dehidrasi ringan dilakukan rehidrasi peroral.

b. Dehidrasi sedang dan berat dilakukan rehidrasi parenteral dengan Infus cairan.



4. Penderita di MRS kan

Dalam 3 jam pertama diharapkan penderita berubah status tingkat dehidrasi menjadi dehidrasi ringan.

PENGGUNAAN ATS / ADS



Memberikan suntikan ATS/ADS kepada pasien TTT, untuk menetralisir Endotoxin yang dihasilkan oleh kuman tetanus / difteri sehingga mencegah prognosa yang jelek, disuntikan secarav IM ( Intra Muskular )
Gunanya untuk :
·         Menetralisir endotoxin dari kuman tetanus / difteri
·         Mengurangi kematian dan kecacatan
Operasional dilakukan pada :
·         Pasien tetanus / tetanus neonaterum
·         Pasien difteri
A. PERSIAPAN
I.   Persiapan Klien
- Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
II.  Persiapan Alat
- Bak spuit, Disposible 3 ccC 3 buah
- Disposisble 5 cc 1 buah
- Kapas alkohol
- Bengkok
B. PELAKSANAAN
- Perawat cuci tangan
- Pasien diberitahu prosedur yang akan dilakukan
- Sebelum disuntikan lakukan skin test dulu secara intra cutan
- Amati reaksi Skin test
a. Bila hasil negatif ( -) ATS/ADS langsung disuntikan secara intra muskuler ( IM )
b. Bila hasil (+) positif, obat harus disuntikan secara besredka
- Cara pelaksanaan suntikan Besredka :
i. 0,1 ATS / ADS + 0,9 NaCl, disuntikan secara Intra Cutan
ii. 0,5 ATS / ADS + 0,5 NaCl, disuntikan secara Sub Cutan, tunggu sampai 30 menit, pada deltoid kanan
iii. 0,5 ATS / ADS + 0,5 NaCl, disuntikan secara Sub Cutan, pada deltoid kiri tunggu 30 menit
iv. Selanjiutnya sisa obat diberikan secara Intra Muskuler
C. EVALUASI
Mencatat hasil tindakan dan respon pasien pada dokumen asuhan keperawatan

21/04/16

Diagnosis Asma




Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.

1.      Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.

2.      Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.

3.      Pemeriksaan penunjang
a.       Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
 napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
b.      X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
c.       Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
d.      Petanda inflamasi

Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
-  Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.

CANDIDIASIS PADA IMMUNOKOMPROMAIS



IMMUNOPATOFISIOLOGI CANDIDIASIS PADA PASIEN IMMUNOKOMPROMAIS
Pendahuluan
Fungsi utama system imun adalah mencegah infeksi dan menyingkiurkan mikroba yang sudah ada dalam jaringan. System imun terdiri atas imunitas nonspesifik (alamiah, innate, native) dan spesifik (acquired, adaptif). Sistem nonspesifik yang bekerja baik ditemukan pada individu sehat, siap menyerang dan menyingkirkan mikroba yang masuk ke dalam tubuh dengan cepat. Imunitas spesifik baru dirangsang oleh mikroba maupun yang berhasil memasuki tubuh. Reaksi imunitas spesifik dapat diarahkan terhadap mikroba maupun terhadap antigen nonmikroba. Imunitas spesifik juga memberikan sinyal ke system imun spesifik dan sebaliknya, imunitas spesifik dapat mengaktifkan imunitas nonspesifik untuk membantu menyingkirkan mikroba.
Awal kerja system imun
Neutrofil, monosit dan makrofag (semua disebut fagosit) merupakan komponen sistem imun non psesifik yang menggunakan berbagai reseptor membrane/molekul permukaan untuk mengenal dan menangkap mikroba. Pengenalan tersebut merupakan awal fungsi sel imun nonspesifik/fagosit untuk menyingkirkan mikroba yang berhasil masuk tubuh. Ikatan reseptor fagosit dan mikroba akan mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba. Fagosit yang diaktifkan memproduksi sejumlaj mediator dan sitokin antara lain TNF-α yang selanjutnya merangsang endotel untuk memproduksi berbagai kemokin dan meningkatkan fagosit bermigrasi ke tempat inflamasi untuk menyingkirkan mikroba.(simpo)
Defisiensi Imun (Imunocompromis)
Berbagai keadaan dalam klinik dapat menimbulkan fungsi system imun yang terganggu ayau defisiensi imun (imunokompromis) sehingga tubuh tidak dapat menyingkirkan mikroba yang masuk le dalam tubuh atau mikroba yang sudah ada dalam tubuh dan hibup intraselluler. Adanya defisiensi di klinik harus dicurigai bila ditemukan adanya tanda-tanda kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan protozoa, infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaaan biasa mempunyai virulensi rendah, infeksi bakteri piogenik, infeksi bakteri atau autoimunitas. Defisiensi imun dapat terjadi fisiologik misalnya pada kehamilan, pada usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun dan usia lanjut.(simpo_)
Imunodefisiensai sekunder atau didapat merupakan defisiensi yang tersering ditemukan. Defisiensi tersebut dapat mengenai fungsi fagosit. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder adalah proses penuaan, malnutrisi, mikroba, penggunaan obat imunosupresirf, sitotoksik/ radiasi, tumor, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah penyakit lain seperti diabetes. Defisiensi dapat juga terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada apenyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG, IgA yang berarti dengan IgM normal.(swimpo)
Candidiasis
Candidiasis adalah bentuk umum untuk penyakit yang disebabkan oleh spesies candida dan mencakup kolonisasi, infeksi superficial, invasi local (dalam), dan penyebaran hematogen. Penyebab tersering adalah dari jenis spesies Calbicans, C tropicalis dan Torulopsis glabrata. Candida albicans umumnya menyebabkan infeksi superficial kronis pada mukosa penjamu dengan defek pada cell-mediated immunity (CMI), terutama pada HIV-infected pasien.(net)
Gambaran imunologis utama candidiasis
           Sumber infeksi umumnya dari flora normal host sendiri
           Barier mukosa yang intak menggambarkan mekanisme pertahanan utama host yang nonspesifik
           Fagosit menelan ragi namun menyerang pseudomyselia dan myselia
           Keadaan neutropenia merupakan predisposisi dari penyebaran hematogen
           Defek Cmi predisposisi bagi penyaikit invasi mukosa
           Sariawan ,oesofagitis dan vaginitis adalah gambaran utama pada AIDS
           Candidiasis mukokutan cronik adalah sindrom spesifik pada pasien dengan defek imunoregulator (BCI)*
1.         Respon imun
Respon imun dimulai sewaktu ada picuan oleh antigen yang masuk ke dalam tubuh dan bertemu dengan macrofag sebagai APC (Antigen Presenting cel) yang akan mensekresikan IL-1 (sitokin autocrine) yang berguna untuk dan bergabung dengan HLA klas II sehingga membentuk MHC klas II.Komplek ini akan dipresentasikan pada sel T helper. Sel T helper akan mengalami aktivasi dan mulai menghasilkan sitokin yang dikenal sebagai interleukin-2 (IL-2) dan juga mulai memperlihatkan afinitas reseptor yang tinggi pada permukaannya. Il-2 merupakan sitokin mitogenik yang sangat poten untuk limfosit T dan berguna untuk proliferasi dari sel T. Il-2 juga sangat berguna untuk aktivasi sel Tc dan untuk memicu proliferasi sel ini. Oleh karena akutoaktivasi dari IL-2 sel Th akan mensekresi sitokin yang lain yang akan memacu pertumbuhan, diferensiasi, dan fungsi dari sel B, macrofag dan sel yang lain. Selain IL-2 sel Th juga menghasilkan Il-4 dan Il-6 yang dapat mengaktivasi sel B sebagian untuk menjadi sel plasma yang nantinya akan mensekresikan antibodi spesifik. (*BCI)
Fungsi dari limfosit Tc adalah untuk mengeradikasi sel yang memperlihatkan antigeb asing pada permukaannya seperti pada sel yang terinfeksi virus. Kebanyakan sel Tc memperlihatkan CD8 daripada CD4 oleh sebab itu pengenalan terhadap antigen lebih kepada MHC klas 1. ketika sebuah sel somatik terinfeksi virus, didalam sel ini mungkin tejadi proses pembentukan protein virusakibatnya mungkin rangkaian peptida terlihat pada permukaan dan membentuk kompleks dengan MHC klas 1. kompleks peptida dan MHc klas1 ini kemudian dikenal oleh reseptor sel Tc yang kemudian akan menyebabkan aktivasi dari limfosit Tc yang memungkinkannya untuk dapat membunuh ikatan ini. (Kompleks MHC klas 1 –peptida).
2.         Imunocompromis
Imunocopromis adalah suatu kondisidimana satu atau lebih defek terdapat pada respon imun alami dan adaptif yang mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi yang dapat berubah menjadi bahaya pada pasien.
Gangguan respon imun ini dapat menyebabkan tejadinya infeksi. Berikut merupakan kondisi-kondisi bilamana gangguan dapat terjadi:
1.         defek pada respon imun humoral; defisiensi komplemen dan antibodi, menyebabkan gangguan pada opsonifikasi dan baktericidal.
2.         defek pada sistem imun seluler: gangguan pada sistem fagosit (neutrofil dan macrofag) dan imun seler spesifik.
3.         status imun dasar : perbedaan pada capabilitas alami dalam memproduksi TNF
4.         penggunaan imunosupresan
5.         cancer dan penyakit autoimun, diabetes, sirosis hepatis dan CRF.
Tipe Imunocompromis
Faktor Predisposisi     Dampak pada sistem imun     Tipe Infeksi
Obat2an sinar X yang imun osupresif, allograft recipients (ginjal, sumsum tulang, hati) dan terapi kanker.            Penurunan imunitas seluler dan humoral       Infeksi pulmonal, bacteremia, fungal infection, ISK. Virus (rubella, herpes, EB virus, hepatitis virus, HIV)          Replikasi virus pada sel limphoid menyebabkan gangguan fisiologis          Infeksi bakterial; sekunder(fungal dan protozoa) pada AIDS. Malnutrisi       Hipoplasi limfoid, penurunan limfosit dalam sirkulasi, penurunan kemampuan fagositosis. Campak, TBC, ISPA, infeksi gastrointestinal. Tumor           Perubahan pada sistem imun sel Bacteremia, pneumonia, ISK. Asap rokok,partikel inhalasi (silika, spora jamur)   Inflamasi pulmonal, pengendapan imun komplek      ISPA, respon alergi. Penyakit endokrin kronis (diabetes)      Penurunan kemampuan fagositosis   Infeksi Staphylococcus, TBC, ISPA, Bacterremia. Defisiensi imun primer  Penurunan imun seller dan humoral. Infeksi Staphylococcus, TBC, ISPA, Bacterremia. Dalam penelitian yang dilakukan Prof.Guntur dengan membandingkan pasien dengan imunokompromis dengan yang bukan imonokompromis menunjukan hasil bahwa TNF-alpha pada IC pasien lebih tinggi daripada pasien NIC. TNF-alphaadalah suatu sitokin yang yang dihasilkan macrofag. Peningkatan TNF-alpha menyebabkan penekanan terhadap sumsum tulang, limfopenia, peningkatan sistem koagulasi dengan cara mempengarugi keseimbangan antara procoagulan dan anticoagulan, dan juga mengakibatkan proteolitic musculer, yang mengarah pada kejadian cachexia yang menyebabkan imunodefisiensi.
Selain itu derejat dari IL-10 pada pasien IC juga lebih tinggi dibanding pasien NIC. Hal ini mengindikasikan pada pasien IC terjadi kerusakanfungsi dari limfosit Th2 (tidak lagi fisiologis). IL-10 merupakan sitokin yang diproduksi oleh limfosit Th2 sewsudah distimulasi oleh APC sebagai sitokin antiinflamasi..
Selain itu juga terjadi peningkatan IgG yang mengindikasikan gangguan pada sistem imun humoral. Peningkatan IgG menyebabkan pasien rentan terjadi kerusakan sel endotel.. pada pasien IC terjadi penurunan konsentrasi plasma C3. C3 adalah molekul dari sistem imun nonspesifik yang dalam keadaan inaktif larut dalam plasma. C3 dapat diaktifkan sewaktu-waktu oleh suatu substansi contoh antigen, toxin, imuncomplek. C3 merupakan komplemen yang diperlukan untuk opzonifikasi, khemotaksis, dan mengeliminir komplek antigen-antibodi, sehingga komplemen ini dapat melisiskan dinding bakteri. Sehingga penurunan dari C3 mengakibatkan penurunan pertahananterhadap bakteri, sehingga rawan infeksi.
3.         Aspek Imunologis Infeksi Candida
1.         Virulensi Jamur Candida
Terdapat dua faktor virulensi Candida :
1.         Dinding Sel
Faktor virulensi Candida yang menentukan adalah dinding sel. Dinding sel berperan penting karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel Candida mengandung zat yang penting untuk virulensinya, antara lain turunan mannoprotein yang mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu. 1,2
Candida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase aspartil membantu Candida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. 1,3
2.         Sifat dimorfik Candida
Faktor virulensi lain adalah sifat dimorfik Candida. Yaitu kemampuan Candida berubah bentuk menjadi pseudohifa. Bahkan sebagian peneliti menyatakan sifatnya yang pleomorfik. Sifat morfologis yang dinamis merupakan cara untuk beradaptasi dengan keadaan sekitar. Terdapat dua bentuk utama Candida : 1, 2
o          Bentuk ragi (spora)
o          Bentuk pseudohifa ( hifa, miselium, filamen).
Dalam keadaan patogen, C. albicans lebih banyak ditemukan dalam bentuk pseudohifa dibandingkan bentuk spora.
Bentuk hifa mempunyai virulensi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena :
         Ukurannya lebih besar dan lebih sulit difagositosis oleh sel makrofag, sehingga mekanisme di luar sel untuk mengeliminasi pseudohifa dari jaringan terinfeksi sangatlah penting.
         Terdapatnya titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar.
Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa yang lebih invasif juga dipengaruhi imunitas selular. IFN-γ memblok transisi bentuk sel ragi menjadi bentuk pseudohifa. 1
2.         Imunomodulasi dan Adhesi
Terdapat dua aspek utama dalam interaksi antara pejamu dan parasit, yaitu imunomodulasi respons imun pejamu serta adesi sel jamur pada hospes. 1
1.         Imunomodulasi respons imun pejamu
Imunomodulasi adalah kemampuan potensial sel Candida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu, berupa rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu.1
Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respons tersebut di antaranya menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock proteins (hsp). Pada Candida, hsp juga berperan dalam merangsang respons imun pejamu, di samping perannya dalam proses pertumbuhan. Pada Candida terdapat dua famili hsp yang dikenal, yaitu hsp90 dan hsp70.1
2.         Adhesi sel jamur pada hospes
Aspek interaksi yang kedua adalah adhesi yang merupakan syarat terjadinya kolonisasi. Dengan adhesi Candida melekat pada sel epitel, sel endotel, faktor terlarut, dan matriks ekstraselular. Interaksi antara Candida dengan pejamu melibatkan sel fagosit, sel organ pejamu yang terinfeksi, matriks ekstraselular, dan protein yang terlarut dalam serum. 1
Protein yang berperan sebagai mediator adhesi dikelompokkan sebagai berikut : 1,2
           Protein serum (serum albumin dan transferin, fibrinogen, fragmen komplemen C3d, fragmen komplemen iC3b).
           Protein matriks ekstraselular (laminin, fibronectin, entactin, vitronectin, kolagen).
           Mannan adhesins dan protein pengikat lain (mannan adhesins, protein hidrofobik, fimbriae, plastic-binding protein, epithelial binding lectin-like protein, aglutinin-like proteins, adhesi pada Streptococcus spp., bakteria lain)
           Adhesi pada protein saliva.
3.         Respon Imunologis pada Infeksi Candida
Secara umum, percobaan pada tikus memberi kesan bahwa imunitas selular dan humoral mempunyai peranan mayor dan minor dalam sistem pertahanan terhadap infeksi Candida. Sistem kekebalan yang berperan terhadap Candida adalah sistem kekebalan selular, limfosit T bertindak selaku regulator utama. Sel CD4+ dan CD8+ mempunyai peranan dalam respons pejamu terhadap infeksi Candida dan merupakan komponen sentral dalam pertahanan pejamu yang memproduksi sitokin. 1
Dalam dinding sel Candida terdapat bahan polidispersi yang mempunyai berat molekul tinggi yang menginduksi proliferasi limfosit, produksi IL-2 dan IFN-γ, serta membangkitkan perlawanan sitotoksik sel NK. 1
Fungsi limfosit T dalam kekebalan terhadap Candida adalah memproduksi sitokin yang merangsang dan meningkatkan aktivitas kandidisidal sel efektor seperti sel MN dan PMN. Sistem imun selular nonspesifik seperti yang diperankan oleh makrofag, PMN, dan sel-sel NK lebih dominan pada infeksi sistemik dibandingkan infeksi superfisial dan mukosal. 1
Secara in vitro maupun in vivo diketahui bahwa sel CD4+ adalah sel T yang terlibat dalam membangkitkan imunitas selular terhadap Candida. Sel CD8+ juga mempunyai efek bagi pertahanan tubuh terhadap Candida, hanya lebih kecil dan tertutup oleh CD4. Efek yang dibutuhkan dari CD4 adalah kemampuan memproduksi sitokin, misalnya TNF-α, yang meningkatkan aktivitas sel-sel fagositik. 1
Stimulasi sel mononuklear darah perifer manusia oleh Candida atau antigennya mengakibatkan diproduksinya beberapa sitokin yang berbeda. Sel mononuklear wanita sehat akan memproduksi TNF dan IL-1. 1
IL-1 merupakan sitokin yang memicu produksi IL-2 oleh Th1. IL-2 akan merangsang replikasi Th1. Selain itu, Th1 memproduksi IFN-γ yang dapat menginhibisi pembentukan germ tube. 1
Peranan CD8+ dalam patogenesis dan resolusi infeksi pada kandidosis mungkin membantu melisis PMN yang terinfeksi, memproduksi sitokin untuk mengaktivasi sel fagosit, dan memodulasi aktivitas efektor sel-sel CD4+. Sitokin tidak hanya penting sebagai penghubung antara limfosit T dan sel fagosit, namun juga penting untuk koordinasi sel T. 1
4.         Patologi candidiasis pada pasien imunocompromis
Candida albicans umumnya menyebabkan infeksi superfisial kronik pada mukosa host dengan defek sistem imun terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Infeksi candida ini yang sering didapatkan yaitu candidiasis oropharing. Pada infeksi jenis ini sering ditemukan mlekul perlekatan dan invasi jaringan yang disebut SAP (secreted aspartic proteinase) yang paling tidak ada 9 turunannya.mekanisme pertahanan pada permukaan mukosa host terhadap C.albicans diperantarai oleh CMI oleh sel T CD4+. Mekanisme imun ini melibatkan sitokin dari TH1,dimana yang rentan infeksi candida adalah respon dari TH2.selain itu sekresi sistem imun terutama IgA juga memainkan peranan.fungsi dari IgA ini telah dinpuyblikasikan karena kemampuannya dalm menghambat perlekatan dari C.albicans pada sell epitel buccal (Longitudinal Study of Anti-Candida albicans Mucosal Immunity Against Aspartic Proteinases in HIV-Infected Patients)

Imunitas protektif terhadap candida melibatkan baik sel2 alami atau adaptif dan respon imn humoral.data saat ini memperlihatkan proteksi terhadap penyakit sistemik di mediasi secara primer oleh imunitas alami melalui mekanisme mula2
(neutrofil)dan imunitas humoral yang biasanya tidak sesuai pada pasien yang menerima obat2an imunosupresif dan atau terapi sitotoksik. Kesebalikannya proteksi terhadap penyakit candidiasis mucocutan dipercayakan terhadap CMI dan sel T yang biasanya terganggu pada pasien dengan defisiensi imunitas berat. Data saat ini menunjukan bahwa paien CMC memiliki susunan produksi sitokin yang berubah sebagai respon terhadap antigen candida yaitu dengan turunnya / rendahnya produksi IL-2, peningkatan produksi IL-6dan titer yang tinggi dari IgG dan IgA spesifik candida jumlahnya tetap dengan jumlah produksi sitokin dati Th1 yang rendah dan Th2 yang tinggi. Copyright © 2003, American Society for Microbiology. (deregulated-flas ).
Menurut wetao huang bahwa suatu mIL-17A/mIL-17AR yang merupakan sitokin proinflamatorydiperlukan untuk pertahanan host invivo IL-17A dapat merupakan terapi potensial bagi infeksi sistemik C.albicans pada pasien imunocompromisdengan cancer atau sindrom penurunan imunitas didapat. Requirement of Interleukin-17A for Systemic AntiCandida albicans Host Defense in Mice
http://www.journals.uchicago.edu/JID/journal/issues/v190n3/32115/32115.html
HUMORAL IMMUNITY
respon Antibody secara umum dan spesifik pada candida secara berulang-ulang menunjukan hasil yang tetap/utuh.data dari D lilic dan I Grevenor menunjukan titer dari spesifik antibodi IgG dan IgA yang sangat tinggi pada semua pasien.
T CELL MEDIATED IMMUNITY AND CYTOKINES
proteksi dari mucocutan candidiasis secara berulan-ulang menunjukan ketergantungan pada imunitas seluler. Jelas bahwa pasien dengan defek pada sel T (kombinasi defisiensi imun berat /Goerge syndrom), dan utamanya sel T CD4+ akn mudah terinfeksi oleh candida (patients denganAIDS).baru-baru ini teridentifikasi bahwa pasien yang terlahir dengan defisiensi pada reseptor i (IFN-{gamma}) dan (IL-12) menunjukan kerentanan terhadap mycobacteria serta candidiasis persisten. Beberapa penelitian menunjukan IFN-{gamma} dan IL-12 diperlukan untuk keberlangsungan hidup dan pembersihan dari infeksi. © 200