Alergi adalah suatu reaksi immediate hypersensitivity terhadap
antigen lingkungan yang diperantarai oleh IgE (Immunoglobulin E) (Mittermann
et al., 2004). Alergi mempunyai
karakteristik yaitu ditemukannya IgE sebagai respons terhadap alergen
lingkungan secara umum dan uji kulit yang positif (Mackay et al., 2001). Rhinitis
alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang
dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita
dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade
terakhir ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan
lebih dari 500 juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu
penyebab terbanyak seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis
telinga hidung tenggorok-bedah kepala leher (Rhee et al., 2014).
Hygiene
hypothesis adalah sebuah
teori yang mencoba menjelaskan meningkatnya kejadian alergi dan asma pada
negara-negara maju. Teori Hygiene
hypothesis mengatakan
bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi
diri dari perkembangan alergi. Haapakoski
et al.,
menyatakan
bahwa teori hygiene
hypothesis adalah
cara di mana sistem kekebalan tubuh
bertemu alergen yang
merupakan respon
untuk polarisasi
berikutnya, dan adanya ligan mikroba berpengaruh terhadap
hipotesis ini (Kemeny et al., 2013).
Rinitis
Alergi bukan penyakit berbahaya yang mematikan, tetapi rinitis alergi
harus dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu, dan biaya yang akan
dikeluarkan untuk pengobatan juga akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak
segera diatasi karena telah menjadi kronis (Rhee, 2014). Masalah
yang ditimbulkan dari rinitis alergi diatas mengajak penulis untuk membahas
masalah kemanfaatan hygiene hypothesis pada
penderita rhinitis alergi (Seo et al,
2013).
Hygiene hypothesis adalah
sebuah teori yang menjelaskan peningkatan kejadian alergi dan asma pada
negara-negara maju. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan
teori hygiene hypothesis.
Teori
tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis
dapat melindungi diri dari perkembangan alergi (Katerina et al, 2013).
Hygiene hypothesis menyatakan
bahwa penyakit alergi dapat dicegah dengan adanya infeksi pada awal kehidupan
yang berasal dari kontak dengan saudara kandung yang lebih tua. Penurunan
jumlah anggota keliarga, dan peningkatan kebersihan individual telah menurunkan
kesempatan terjadinya infeksi silang dalam keluarga, hal ini akan meningkatkan
gejala klinis atopi (Strachan, 2007).
Hipotesis ini mengusulkan bahwa berkurangnya kontak
terhadap lingkungan yang “kotor” dan zat-zat penyebab infeksi pada masa
tertentu atau pada masa kanak-kanak menyebabkan berkurangnya rangsangan pada
bagian-bagian tertentu dari sistem imunitas dari anak yang sedang tumbuh.
Sebagai akibatnya, tidak terjadi perubahan pada reaksi imunitas. Kontak
terhadap lingkungan pertanian dan khususnya terhadap binatang-binatang
pertanian tampaknya memberi perlindungan dari berkembangnya asma dan rhinitis
alergi (Katerina et al, 2013).
Seseorang yang mendapat paparan
faktor pertanian di awal kehidupan seperti paparan hewan ternak dan minum susu
langsung dari peternakan yang tidak dipasteurisasi atau di homogenisasi menjadi
faktor kunci pelindung atau mencegah terjadinya perkembangan alergi dan asma
(Holbreich, 2012). Infeksi pada awal kehidupan juga dapat mencegah perkembangan
patologis respon imun terhadap alergen dan autoantigen (hygiene hypothesis) karena mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap respon
patogen antigen. Sistem kekebalan tubuh mungkin akan berkembang setelah
mendapat respon terhadap infeksi awal sebagai adapatasi untuk menyesuaikan reaktifitas
infeksi lokal penyakit ekologi (Wander et
al., 2012).
Anak-anak yang dibesarkan di tanah pertanian
mengalami kontak dengan berbagai macam organisme (binatang-binatang, virus,
bakteri) dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di daerah perkotaan.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa anak-anak dari komunitas pertanian
terjangkit lebih sedikit asma, hay fever,
dan alergi. Mekanisme seluler yang tepat tentang bagaimana pajanan melindungi
seseorang dari berkembangnya asma dan alergi tidak jelas. Satu kemungkinan,
bahwa peningkatan jumlah infeksi atau terpajan hewan ternak (atau binatang
peliharaan) dapat merangsang sistem imun anak yang belum matur untuk
mengembangkan reaksi immunologi yang menjauhi asma dan rhinitis alergi
(Katerina et al, 2013).
Pada hygiene hypothesis peranan sel T regulator akan mempengaruhi efek paparan terhadap infeksi pada
keseimbangan T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Berkurangnya paparan
terhadap infeksi setelah kelahiran dapat menggeser respons keseimbangan sel Th
menuju Th2. Hasil dari respons ketidakseimbangan akan menyebabkan respons
eosinofil dan igE yang berlebihan, dimana kedua-duanya berhubungan dengan
reaksi alergi dan atopi (Rook, 2012).
Paparan terhadap mikroba dapat
mempengaruhi keseimbangan Th1 dan Th2 dengan meningkatkan respons Th1 dan
menurunkan respons Th2. Sel Th1 berhubungan dengan respons terhadap infeksi dan
produksi interferon-γ. Sel Th2 menginduksi produksi igE dan maturasi sel mast,
basofil dan eosinofil sehingga sel Th2 secara umum berhubungan dengan respons
imun atopi (Rook, 2012).
Hygiene
hypothesis menurut para peneliti dari beberapa studi bahwa sistem imun pada bayi
didominasi oleh sitokin T helper (Th) 2, dan setelah lahir pengaruh lingkungan
akan mengaktifkan respons Th1 sehingga
akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi
asma dan rhinitis alergi menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberculosis,
measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan
akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan
antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing (Koernelia et al, 2013).
Sel Th1dan Th2 menghambat
perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita atopi meningkat
sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan
IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis
janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga
tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit
alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen
dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan
menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th2. Sel Th2 akan meningkatkan
sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE.
Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama (IFNγ) akan menghambat sel
B untuk menghasilkan IgE (Seo et al,
2014).
Sel efektor imun utama yang
bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di hidung maupun paru adalah sel
mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE
disintesis kemudian melekat ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi
yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang
berperan dalam perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3,
IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF),
eotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES)
(Seo et al, 2014).
Faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi kejadian alergi yaitu:
a.
Imunisasi/vaksinasi
Vaksinasi
merupakan pemberian mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan untuk
menginduksi respons imun dan hygiene
hypothesis memprediksi vaksinasi dapat mempengaruhi kerentanan terhadap
terjadinya atopi. Penelitian di jepang menyatakan bahwa vaksinasi DPT memiliki
beberapa efek dalam meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG (Bacillus
Calmette Guerin) menghambat perkembangan kejadian atopi meskipun efek
pencegahannya akan berakhir setelah beberapa tahun (Rook, 2012).
b.
Menyusui
Pemberian
ASI eksklusif sampai 6 bulan akan banyak memberikan pengaruh pada respons imun.
Sistem imun akan berkembang bersamaan dengan tumbuh kembang. Meskipun ASI dapat
mencegah asma dan atopi, atau kedua-duanya, tetapi hal ini masih merupakan
kontroversi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ASI eksklusif selama 4-6
bulan akan mencegah timbulnya atopi dan asma pada anak (Ponsonby et al., 2011).
Menyusui
merupakan faktor yang lebih penting bila dibandingkan dengan fakor-faktor
lainnya dalam berkembanganya toleransi terhadap alergen terutama karena adanya
toleransi oral yang diperantarai oleh jaringan lymphoid yang berhubungan dengan
saluran pencernaan. Lamanya menyusui merupakan faktor yang penting dimana
menyusui kurang dari 3 bulan hanya
memiliki sedikit efek protektif atau
bahkan tidak dijumpai efek protektif terhadap atopi.pengaruh menyusui selain
berhubungan dengan lamanya menyusui juga berhubungan dengan adanya kombinasi
dengan susu sapi dan adanya predisposisi genetik terhadap atopi (Neu et al., 2011).
c.
Jumlah saudara
kandung
Strachan
(2007) menyatakan bahwa terdapat suatu hubungan yang terbalik antara jumlah
anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Penelitian di Australia
melaorkan adanya efek protektif dari tiga atau lebih jumlah saudara kandung yang
lebih tua usia 3-5 tahun terhadap penyakit asma. Adanya saudara kandung yang
lebih tua memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan saudara kandung yang lebih
muda, oleh karena itu faktor-faktor seperti virus di awal kehidupan dapat
mencegaah perkembangan sensitisasi alergi (Strachan, 2007).
Setiap
kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun
dan dapat menurunkan risiko pada keturunan berikutnya untuk menjadi atopi. Hal
ini mengacu pada hipotesis berikut ini :
1)
Kadar IgE maternal
menurun dengan jumlah kelahiran ( hipotesis toleransi induksi). Oleh karena itu
toleransi imun maternal yang ditunjukkan oleh rendahnya kadar IgE penting untuk
respons atopi pada anak sehingga ditemukan penurunan dalam IgE serum tali pusat
seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang hidup, hal ini dapat
dijelaskan oleh adanya penurunan IgE maternal (Brady, 2012).
2)
Penurunan IgE
maternal dengan meningkatnya jumlah keturunan yang hidup dapat ditransmisikan
ke keturunan berikutnya. Hal ini dapat menjelaskan penurunan IgE serum tali
pusat dapat dijumpai pada jumlah saudara kandung yang lebih banyak (hipotesis
toleransi transmisi) (Brady, 2012).
Peningkatan
IgE tali pusat yang diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi
alergi pada usia 4 tahun. Kadar IgE tali pusat ditentukan oleh hasil interaksi
fetal maternal selama periode prenatal sehingga dikatakan bahwa efek saudara
kandung terhadap kejadian alergi sudah berasal dari uterus (Brady, 2012).
d.
Infeksi mikroba
Para
ahli alergi-imunologi telah melakukan eksplorasi lebih jauh dan didapatkan
bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba merupakan faktor penyebab utama
meningkatnya insidens atopi. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan
berkurangnya paparan terhadap mikroba diantaranya berkurangnya jumlah
kelahiran, air dan makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan
vaksin, dan juga faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari
pedesaan ke perkotaan (Rook, 2012). Mikroba yang dapat mempengaruhi outcome alergi dan asma dapat dibagi
menjadi beberapa kategori:
·
Infeksi bakteri,
virus, parasit.
·
Komponen mikroba
seperti endotoksin, Staphylococcus aureus
·
Kolonisasi
saluran cerna seperti lactobacillus, bacteroides dan parasit
·
Mikrobiota tanah
·
Hal-hal yang dapat
menurunkan jumlah mikroba seperti penggunaan antibiotik, imunisasi,
meningkatnya kebersihan individu (Brady, 2012).
Beberapa
faktor yang menentukan outcome akibat infeksi mikroba adalah jenis mikroba dan
komponennya, fenotip penyakit, waktu paparan, jumlah dan kombinasi paparan,
genetik serta rute paparan (Rook, 2012).
Beberapa
penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek protektif agen infeksius tunggal
atau multipel dan atau produk mikroba terhadap berkembangnya sensitisasi alergi
atau penyakit alergi. Hal ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran
pencernaan seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, flora normal
usus, endotoksin lingkungan dan produk mikroba lainnya di lingkungan dan
kecacingan (Brady, 2012).