Cari Blog Ini

21/04/16

Diagnosis Asma




Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.

1.      Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.

2.      Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.

3.      Pemeriksaan penunjang
a.       Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
 napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
b.      X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
c.       Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
d.      Petanda inflamasi

Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
-  Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.

Teknik Autopsi







a.       Teknik Virchow yaitu teknik autopsi setelah membuka rongga tubuh kemudian organ-organ dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa

b.      Teknik Rokitansky yaitu teknik autopsi setelah membuka rongga tubuh kemudian organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan beberapa irisan

c.       Teknik Letulle yaitu teknik autopsi setelah membuka rongga tubuh, organ leher, dada, diafragma dan perut dikeluarkan sekaligus (en masse)

d.      Teknik Ghon yaitu teknik autopsi setelah membuka rongga tubuh, organ leher dan dada, organ pencernaan bersama hati dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai 3 kumpulan organ (bloc).

HYGIENE HYPOTHESIS PADA RHINITIS ALERGI



Alergi adalah suatu reaksi immediate hypersensitivity terhadap antigen lingkungan yang diperantarai oleh IgE (Immunoglobulin E) (Mittermann et al., 2004). Alergi mempunyai karakteristik yaitu ditemukannya IgE sebagai respons terhadap alergen lingkungan secara umum dan uji kulit yang positif (Mackay et al., 2001). Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade terakhir ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan lebih dari 500 juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu penyebab terbanyak seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok-bedah kepala leher (Rhee et al., 2014).
Hygiene hypothesis adalah sebuah teori yang mencoba menjelaskan meningkatnya kejadian alergi dan asma pada negara-negara maju. Teori Hygiene hypothesis mengatakan bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi. Haapakoski et al., menyatakan bahwa teori hygiene hypothesis adalah cara di mana sistem kekebalan tubuh bertemu alergen yang merupakan respon untuk polarisasi berikutnya, dan adanya ligan mikroba berpengaruh terhadap hipotesis ini (Kemeny et al., 2013).
Rinitis Alergi bukan penyakit berbahaya yang mematikan, tetapi rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu, dan biaya yang akan dikeluarkan untuk pengobatan juga akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis (Rhee, 2014). Masalah yang ditimbulkan dari rinitis alergi diatas mengajak penulis untuk membahas masalah kemanfaatan hygiene hypothesis pada penderita rhinitis alergi (Seo et al, 2013).


Hygiene hypothesis adalah sebuah teori yang menjelaskan peningkatan kejadian alergi dan asma pada negara-negara maju. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi (Katerina et al, 2013).
Hygiene hypothesis menyatakan bahwa penyakit alergi dapat dicegah dengan adanya infeksi pada awal kehidupan yang berasal dari kontak dengan saudara kandung yang lebih tua. Penurunan jumlah anggota keliarga, dan peningkatan kebersihan individual telah menurunkan kesempatan terjadinya infeksi silang dalam keluarga, hal ini akan meningkatkan gejala klinis atopi (Strachan, 2007).

Hipotesis ini mengusulkan bahwa berkurangnya kontak terhadap lingkungan yang “kotor” dan zat-zat penyebab infeksi pada masa tertentu atau pada masa kanak-kanak menyebabkan berkurangnya rangsangan pada bagian-bagian tertentu dari sistem imunitas dari anak yang sedang tumbuh. Sebagai akibatnya, tidak terjadi perubahan pada reaksi imunitas. Kontak terhadap lingkungan pertanian dan khususnya terhadap binatang-binatang pertanian tampaknya memberi perlindungan dari berkembangnya asma dan rhinitis alergi (Katerina et al, 2013).
Seseorang yang mendapat paparan faktor pertanian di awal kehidupan seperti paparan hewan ternak dan minum susu langsung dari peternakan yang tidak dipasteurisasi atau di homogenisasi menjadi faktor kunci pelindung atau mencegah terjadinya perkembangan alergi dan asma (Holbreich, 2012). Infeksi pada awal kehidupan juga dapat mencegah perkembangan patologis respon imun terhadap alergen dan autoantigen (hygiene hypothesis) karena mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap respon patogen antigen. Sistem kekebalan tubuh mungkin akan berkembang setelah mendapat respon terhadap infeksi awal sebagai adapatasi untuk menyesuaikan reaktifitas infeksi lokal penyakit ekologi (Wander et al., 2012).
Anak-anak yang dibesarkan di tanah pertanian mengalami kontak dengan berbagai macam organisme (binatang-binatang, virus, bakteri) dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di daerah perkotaan. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa anak-anak dari komunitas pertanian terjangkit lebih sedikit asma, hay fever, dan alergi. Mekanisme seluler yang tepat tentang bagaimana pajanan melindungi seseorang dari berkembangnya asma dan alergi tidak jelas. Satu kemungkinan, bahwa peningkatan jumlah infeksi atau terpajan hewan ternak (atau binatang peliharaan) dapat merangsang sistem imun anak yang belum matur untuk mengembangkan reaksi immunologi yang menjauhi asma dan rhinitis alergi (Katerina et al, 2013).
Pada hygiene hypothesis peranan sel T regulator akan mempengaruhi efek paparan terhadap infeksi pada keseimbangan T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Berkurangnya paparan terhadap infeksi setelah kelahiran dapat menggeser respons keseimbangan sel Th menuju Th2. Hasil dari respons ketidakseimbangan akan menyebabkan respons eosinofil dan igE yang berlebihan, dimana kedua-duanya berhubungan dengan reaksi alergi dan atopi (Rook, 2012).
Paparan terhadap mikroba dapat mempengaruhi keseimbangan Th1 dan Th2 dengan meningkatkan respons Th1 dan menurunkan respons Th2. Sel Th1 berhubungan dengan respons terhadap infeksi dan produksi interferon-γ. Sel Th2 menginduksi produksi igE dan maturasi sel mast, basofil dan eosinofil sehingga sel Th2 secara umum berhubungan dengan respons imun atopi (Rook, 2012). 
Hygiene hypothesis menurut para peneliti dari beberapa studi bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th) 2, dan setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1  sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma dan rhinitis alergi menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberculosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing (Koernelia et al, 2013).
Sel Th1dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi  berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th2. Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE (Seo et al, 2014).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13,  granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), eotaksin dan  regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES) (Seo et al, 2014).
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian alergi yaitu:
a.       Imunisasi/vaksinasi
Vaksinasi merupakan pemberian mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan untuk menginduksi respons imun dan hygiene  hypothesis memprediksi vaksinasi dapat mempengaruhi kerentanan terhadap terjadinya atopi. Penelitian di jepang menyatakan bahwa vaksinasi DPT memiliki beberapa efek dalam meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) menghambat perkembangan kejadian atopi meskipun efek pencegahannya akan berakhir setelah beberapa tahun (Rook, 2012).
b.      Menyusui
Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan akan banyak memberikan pengaruh pada respons imun. Sistem imun akan berkembang bersamaan dengan tumbuh kembang. Meskipun ASI dapat mencegah asma dan atopi, atau kedua-duanya, tetapi hal ini masih merupakan kontroversi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ASI eksklusif selama 4-6 bulan akan mencegah timbulnya atopi dan asma pada anak (Ponsonby et al., 2011).
Menyusui merupakan faktor yang lebih penting bila dibandingkan dengan fakor-faktor lainnya dalam berkembanganya toleransi terhadap alergen terutama karena adanya toleransi oral yang diperantarai oleh jaringan lymphoid yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Lamanya menyusui merupakan faktor yang penting dimana menyusui kurang dari 3  bulan hanya memiliki sedikit efek protektif  atau bahkan tidak dijumpai efek protektif terhadap atopi.pengaruh menyusui selain berhubungan dengan lamanya menyusui juga berhubungan dengan adanya kombinasi dengan susu sapi dan adanya predisposisi genetik terhadap atopi (Neu et al., 2011).
c.       Jumlah saudara kandung
Strachan (2007) menyatakan bahwa terdapat suatu hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Penelitian di Australia melaorkan adanya efek protektif dari tiga atau lebih jumlah saudara kandung yang lebih tua usia 3-5 tahun terhadap penyakit asma. Adanya saudara kandung yang lebih tua memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan saudara kandung yang lebih muda, oleh karena itu faktor-faktor seperti virus di awal kehidupan dapat mencegaah perkembangan sensitisasi alergi (Strachan, 2007).
Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko pada keturunan berikutnya untuk menjadi atopi. Hal ini mengacu pada hipotesis berikut ini :
1)      Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran ( hipotesis toleransi induksi). Oleh karena itu toleransi imun maternal yang ditunjukkan oleh rendahnya kadar IgE penting untuk respons atopi pada anak sehingga ditemukan penurunan dalam IgE serum tali pusat seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang hidup, hal ini dapat dijelaskan oleh adanya penurunan IgE maternal (Brady, 2012).
2)      Penurunan IgE maternal dengan meningkatnya jumlah keturunan yang hidup dapat ditransmisikan ke keturunan berikutnya. Hal ini dapat menjelaskan penurunan IgE serum tali pusat dapat dijumpai pada jumlah saudara kandung yang lebih banyak (hipotesis toleransi transmisi) (Brady, 2012).
Peningkatan IgE tali pusat yang diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi alergi pada usia 4 tahun. Kadar IgE tali pusat ditentukan oleh hasil interaksi fetal maternal selama periode prenatal sehingga dikatakan bahwa efek saudara kandung terhadap kejadian alergi sudah berasal dari uterus (Brady, 2012).
d.      Infeksi mikroba
Para ahli alergi-imunologi telah melakukan eksplorasi lebih jauh dan didapatkan bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba merupakan faktor penyebab utama meningkatnya insidens atopi. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan berkurangnya paparan terhadap mikroba diantaranya berkurangnya jumlah kelahiran, air dan makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan vaksin, dan juga faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari pedesaan ke perkotaan (Rook, 2012). Mikroba yang dapat mempengaruhi outcome alergi dan asma dapat dibagi menjadi beberapa kategori:
·         Infeksi bakteri, virus, parasit.
·         Komponen mikroba seperti endotoksin, Staphylococcus aureus
·         Kolonisasi saluran cerna seperti lactobacillus, bacteroides dan parasit
·         Mikrobiota tanah
·         Hal-hal yang dapat menurunkan jumlah mikroba seperti penggunaan antibiotik, imunisasi, meningkatnya kebersihan individu (Brady, 2012).
Beberapa faktor yang menentukan outcome akibat infeksi mikroba adalah jenis mikroba dan komponennya, fenotip penyakit, waktu paparan, jumlah dan kombinasi paparan, genetik serta rute paparan (Rook, 2012).
Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, flora normal usus, endotoksin lingkungan dan produk mikroba lainnya di lingkungan dan kecacingan (Brady, 2012).