Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga
penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau
batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma
pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak
ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh
gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.
Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada
penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons
dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun
hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis,
dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis
asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
1.
Anamnesis
Ada beberapa hal
yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau
mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu
berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan
beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada
malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam
keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian
yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan
apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah
atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.
2.
Pemeriksaan
klinis
Untuk menetukan
diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya episode
gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering
ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks.
Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi
dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.
3.
Pemeriksaan
penunjang
a.
Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
b.
X-ray
toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
c.
Pemeriksaan
IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
d.
Petanda
inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan
napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein
(ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset.
- Uji
hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar