Cari Blog Ini

02/10/11

Kejang Umum Tonic Klonic

Kejang Umum Tonik Klonik, Generalized tonic clonic seizure, GTCS

Kejang umum tonik klonik / generalized tonic clonic seizure (GTCS) adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik). (Browne & Holmes, 2004; Kantor, 2006)
Terdapat 2 jenis GTCS, yaitu:
  1. GTCS primer: serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal sejak awal mula serangan.
    1. GTCS sekunder: serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi umum. (Lumbantobing, 2004; Kantor, 2006) Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan sangat cepat sehingga tidak tampak secara klinis atau bahkan pada perekamanEEG. (Ko, 2007)

  1. A. Etiologi dan Usia
GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian manifestasi klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun kanak-kanak. (Browne & Holmes, 2004) Misalnya, benign neonatal convulsions, benign myoclonic epilepsy of infancy, childhood absence epilepsy, juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy, GTCS yang terjadi saat bangun tidur, (Ko, 2007) temporal lobe epilepsy syndrome, frontal lobe epilepsy syndrome, West syndrome, dan lain-lain. (Browne & Holmes, 2004) Dengan perkembangan ilmu, telah dapat ditentukan lokus-lokus genetik yang pasti dari berbagai tipe atau sindrom epilepsi. (Ko, 2007)
GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. (Browne & Holmes, 2004) Hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital dan trauma saat lahir, febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma kepala, lesi desak ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, strok, dan penyakit degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit metabolik yang juga berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit, uremia, hipoglikemia, dan disfungsi hepar yang berat.  (McIntosh, 2001)
Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada neonatus. Pada pasien usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder yang berasal dari lesi fokal otak. (Ko, 2007)


  1. B. Patofisiologi
Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya menghalangi perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang melewatinya. Ion Na mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan ion K berkonsentrasi tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan potensial membran yang menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion K menyebabkan hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai ambang, saluran ion Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang menghasilkan potensial aksi. Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K mengganti ion-ion yang berpindah ini dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi sepanjang akson mentransmisikan informasi sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi influks ion Ca yang mencetuskan pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor postsinaptik. Proses ini akan menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris (EPSP dan IPSP) di mana penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang direkam oleh EEG. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak. Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan struktur-struktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral.  (Goetz, 2003)
Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini. Bangkitan dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak. Fungsi neuron-neuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas listrik abnormal. Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta adanya sinkroni dari pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat terganggu, menyebabkan predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal. (Goetz, 2003) Eksitasi yang berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut sistim neuronal yang berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sementara itu, bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal (sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan bertambahnya hubungan sinaptik ini menyokong pelepasan sinkronisasi. (Widjaja, 2004)
Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps glutaminergik merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit reseptor dengan akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi jangka panjang pada sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya ion Ca. Selain itu, transport glutamat/mekanisme uptake termasuk dalam penunjang utama ikut sertanya dalam epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial bertambahnya eksitabilitas. (Widjaja, 2004)
Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan sifat membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik) dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik dipusatkan pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan kalsium. Mutasi atau hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan transmisi di akson, influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal, dan bertambahnya kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang. (Widjaja, 2004)
Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat waktu terjadi kejang. Gliosis dapat meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut serta dalam pembentukan kejang. (Widjaja, 2004)
Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian sub-populasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung mudah terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat. (Widjaja, 2004)
Mekanisme berhentinya kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang berhenti sebagai akibat proses inhibisi aktif, dengan mekanisme seperti blok depolarisasi, perubahan lingkungan ekstraseluler seperti penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca intraseluler. Agen-agen endogen seperti norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi antikonvulsan mungkin berperan dalam berhentinya kejang. (Browne & Holmes, 2004)
Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu dari otak, yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha dijelaskan dengan model kindling. Kindling adalah pemberian berulang stimulus elektris atau agen-agen epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang menghasilkan berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang berkembang menjadi general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA, hilangnya neuron yang biasanya mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik output sel-sel eksitatorik.  (Browne & Holmes, 2004)
  1. C. Gambaran Klinis
Pasien mungkin tidak memberikan sama sekali temuan-temuan pada pemeriksaan neurologis bila tidak sedang mengalami kejang. (Ko, 2007)
  1. Gejala prodromal
Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodromal yang terjadi selama beberapa jam atau hari sebelum suatu bangkitan.  Gejala-gejala yang umum adalah perubahan mood, gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan, iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, dan, perasaan riang. Gejala-gejala lain yang lebih jarang dilaporkan adalah nyeri abdomen, wajah pucat, atau nyeri kepala. Mayoritas pasien mengalami gangguan kesadaran tanpa gejala-gejala pendahuluan. (Ko, 2007)
  1. Aura
Pasien dengan GTCS primer tidak mengalami aura. Aura mewakili bangkitan parsial sederhana, dan riwayat aura mengidentifikasikan bangkitan parsial.  (Ko, 2007) GTCS sekunder dapat dimulai dengan gejala atau tanda bangkitan parsial sesuai dengan fokus asalnya (bangkitan parsial sederhana atau kompleks, atau keduanya). (Browne & Holmes, 2004)
  1. Fase Tonik
Fase tonik biasanya terdiri atas fase fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang lebih lama, disertai gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata terbuka, bola mata terputar ke atas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan badan (dada tertekuk ke pelvis). Fase fleksi menyebar ke seluruh ekstremitas, meliputi lengan lebih tampak daripada tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak daripada otot-otot distal. Lengan terangkat, mengalami aduksi, dan berotasi eksternal. Tungkai dan panggul terfiksir, mengalami aduksi, dan berotasi secara eksternal. (Browne & Holmes, 2004)
Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher. Mulut tertutup rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut berkontraksi, seringkali dengan mengeluarkan ‘tonic cry’ saat udara dikeluarkan dari korda vokalis. Lengan kemudian diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan dapat tetap fleksi, adduksi, dan berotasi eksternal. (Browne & Holmes, 2004)
Selama periode transisi dari tonik menjadi klonik, kontraksi menjadi makin berkurang. Rigiditas tonik digantikan oleh tremor halus, yang amplitudonya makin meningkat dan frekuensinya menurun dari 8 menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan penurunan tonus secara intermitten yang dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke proksimal. Durasi fase ini 10-30 detik. (Browne & Holmes, 2004)
Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tanda-tanda otonom sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun tekanan kandung kemih meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter. (Ko, 2007)
  1. Fase Klonik
Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya tonus otot (fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Tiap hentakan dapat disertai oleh ‘cry’. Durasi fase ini antara 30-50 detik. (Browne & Holmes, 2004) Miksi dapat terjadi pada akhir fase klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap mengalami apneu selama fase ini. Kejang ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung selama 1-2 menit. (Ko, 2007)
  1. Gejala Otonomik
Gejala otonomik bermula dari fase pre-iktal, mencapai maksimal pada akhir fase tonik, dan menurun hebat saat onset fase klonik. Gejala-gejala autonom yang dapat terlihat adalah peningkatan tekanan darah nadi, tekanan buli-buli, tonus spinkter, flushing, sianosis, piloereksi, perspirasi, saliva, dan sekresi bronkial. (Browne & Holmes, 2004)
Apnea dimulai dengan ekspirasi hebat saat onset fase tonik, menetap selama fase tonik dan klonik, dan kadang sampai periode post-iktal awal. (Browne & Holmes, 2004)
  1. Fase Post-Iktal Awal
Relaksasi otot sempurna tidak langsung terjadi pada fase post-iktal. Setelah 5 menit setelah hentakan klonik yang terakhir, kontraksi tonik yang baru berlangsung dari beberapa detik sampai 4 menit. Tonus otot-otot sefalik meningkat, lidah dapat tergigit. (Browne & Holmes, 2004)
Antara hentakan klonik terakhir dan fase post-iktal awal, otot spinkter buli-buli berelaksasi, dan inkontinensia dapat terjadi. (Browne & Holmes, 2004)
Respirasi mulai kembali menjadi normal pada fase post-iktal awal. Peningkatan sekresi menyebabkan onstruksi parsial. Respirasi terhambat, dan otot-otot bantu napas aksesorius diaktivasi. Tekanan darah dan resistensi kulit kembali normal, tetapi takikardia menetap. Sianosis berubah menjadi pucat. Gangguan kesadaran menjadi komplit, dan refleks-refleks pupil dan kutaneus tidak didapatkan. Refleks tendon sangat bervaraisi. Durasi fase ini 1-5 menit. (Browne & Holmes, 2004)
  1. Fase Post-Iktal Lanjutan
Pada fase post-iktal lanjutan, flaksiditas berkembang sempurna. Denyut jantung kembali normal, refleks tendon biasanya hilang, dan respon plantar biasanya ekstensor. Pasien dapat tebangun dengan melewati berbagai tingkatan koma, konfusi atau kebingungan, atau terus berlanjut tidur tanpa terbangun. (Browne & Holmes, 2004) Nyeri kepala dan otot sering ditemukan. Pasien sendiri tidak mengingat peristiwa kejangnya. (Ko, 2007) Durasi fase ini 2-10 menit. Sehingga total durasi kejang GTCS 5-15 menit. Pada GTCS sekunder yang berkembang dari bangkitan parsial, durasi fase individual dan ekspresi klinis sangat bervariasi sesuai jalur saraf yang dilewatinya. (Browne & Holmes, 2004)
  1. D. Gambaran Rekaman Ensefalografik (EEG)
    1. Fase Interiktal
EEG saat sadar pasien dengan GTCS umumnya normal. Abnormalitas interiktal meliputi spikes, sharp waves, polyspikes, dan polyspike atau spike-and-wave complexes. (Ko, 2007; Browne & Holmes, 2004) Aktivitas spike-and-wave yang cepat sering dihubungkan dengan GTCS Hiperventilasi, stimulasi fotik, dan saat tidur dapat meningkatkan kemungkinan menemukan abnormalitas EEG. (Ko, 2007)
Paroxysmal frontal intermittent rhythmic delta activity (FIRDA) mungkin ditemukan pada beberapa pasien, terutama yang mempunyai riwayat absans, tetapi gelombang ini merupakan abnormalitas nonspesifik sehingga tidak dianggap epileptiform.
  1. Fase Awal/Inisial
Selama fase awal GTCS sekunder, EEG dapat memperlihatkan gelombang tajam atau gelombang lambat fokal. (Browne & Holmes, 2004)
  1. Fase Tonik dan Fase Klonik
Fase tonik kejang dikarakteristikkan dengan pola amplitudo letupan yang lebih tinggi dan frekuensi yang lebih rendah secara progresif  yang diamati secara simultan pada kedua korteks hemisfer, mencapai maksimum 10 Hz. (Ko, 2007)
Hal ini kemudian menjadi lebih lambat, bercampur dengan spike amplitudo tinggi bilateral, dan lebih banyak aktivitas ritme delta amplitudo tinggi. Gelombang-gelombang ini lambat, berkembang progresif menjadi kompleks aktivitas spike-and-slow-wave amplitudo tinggi repetitif pada fase klonik. (Ko, 2007)
  1. Fase Post-Iktal
EEG postiktal dapat isoelektris atau menunjukkan aktivitas gelombang delta amplitudo sangat rendah yang difus. Hal ini berkaitan dnegan hiperpolarisasi. (Ko, 2007; Browne & Holmes, 2004)
  1. E. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
    1. Pemeriksaan Laboratorium
1.1.        Kadar prolaktin plasma, bila diperiksa dalam 10-20 menit saat kejang, meningkat 5-30 kali kadar normal. Kadar prolaktin plasama merupakan alat diagnosik yang berguna untuk menyingkirkan pseudoseizure yang menyerupai kejang tonik-klonik. Kadar prolaktin tidak meningkat pada bangkitan absans, mioklonik, dan pada kejang parsial sederhana atau kompleks. (Ko, 2007)
1.2.        Kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, vasopresin, growth hormone, and endorfin beta serum juga meningkat post-iktal tetapi dalam durasi yang sangat singkat. Sehingga sulit dilacak secara klinis. (Ko, 2007)
1.3.        Pada 15% pasien, terutama pada kejang yang berkepanjangan, mungkin didapatkan pleiositosis likuor (umumnya 10 sel/mm3 dan jarang  sampai sebanyak 50 sel/mm3). (Ko, 2007)
1.4.        Asidosis metabolik dan peningkatan kadar laktat dan kreatinin kinase sering ditemukan setelah kejang. (Ko, 2007)
  1. Pemeriksaan Radiologis
2.1.  Abnormalitas dalam CT scan ditemukan dalam 10% pasien dengan GTCS primer. Karena CT scan tidak mendeteksi kebanyakan jenis abnormalitas struktural congenital, MRI adalah pilihan pemeriksaan. (Ko, 2007)
2.2.  Pada GTCS sekunder yang terjadi karena gangguan migrasi neuronal, yang dapat dideteksi MRI adalah lissencephaly, pachygyria, band atau laminar heterotopia, subependymal heterotopias, focal cortical dysplasia polymicrogyria, focal subependymal heterotopias, dan schizencephaly. (Ko, 2007)
Pasien dengan GTCSs dan epilepsi general idiopatik tidak mempunyai  bukti-bukti abnormalitas otak yang terlokalisir, regional, ataupun umum pada anamnesis, pemeriksaan fisik atau neurologis, tes laboratorium, atau pemeriksaan radiologis. (Ko, 2007)
  1. F. Diagnosis Diferensial
GTCS perlu dibedakan dengan sinkop dan pseudoseizure pada pasien dari segala usia. Pada anak-anak, GTCS perlu dibedakan dengan breath-holding spell dan sindrom QT memanjang. (Browne & Holmes, 2004)
GTCS primer yang merupakan bagian dari epilepsi general atau idiopatik perlu dibedakan dengan kejang parsial yang menjadi GTCS sekunder sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. Dicurigai GTCS primer bila (a) tidak terdapat bukti gangguan struktural otak, (b) terdapat riwayat kejang dalam keluarga, (c) terdapat penyerta kejang mioklonik atau absans, (d) kejadian kejang biasanya segera setelah bangun tidur, (e) hentakan mioklonik bilateral saat onset kejang, dan (f) terdapat generalized spike-wave atau polispike wave pada rekaman EEG interiktal. Dicurigai GTCS sekunder bila terdapat (a) aura, (b) tanda gangguan struktural otak (dari pemeriksaan fisik atau radiologis), (c) onset dengan gejala atau tanda kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks atau keduanya, dan (d) gelombang tajam atau lambat fokal pada rekaman EEG interiktal.  (Browne & Holmes, 2004)
Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan GTCS adalah kejang parsial kompleks, gangguan keseimbangan, kejang demam, distonia, dan hiperventilasi. (Ko, 2007)
  1. G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul saat terjadinya GTCS adalah: (Browne & Holmes, 2004)
  1. Trauma oral
Dapat terjadi maserasi lidah, bibir, atau pipi.
  1. Trauma kepala
Fraktur tengkorak, kontusio, hematoma subdural atau epidural dapat disebabkan oleh jatuh atau karena aktivitas klonik.
  1. Fraktur
Fraktur kompresi vertebra thorakal atau lumbar dapat terjadi asimptomatik, dan lebih sering pada orang tua.
  1. Pneumonia aspirasi
Aspirasi bahan sekresi atau muntahan dapat terjadi saat refleks-refleks protektif normal jalan napas mengalami inhibisi post-iktal, dan hal ini dapat berbahaya.
  1. H. Tata Laksana
  2. 1. Pertolongan Pertama Saat Kejang dan Pencegahan Komplikasi
Secara umum, setiap orang yang menyaksikan terjadinya kejang bertanggungjawab untuk mencegah luka fisik, memastikan keamanan, dan mengawasi dengan baik. Penderita tidak boleh ditinggalkan sendirian. Bila diperlukan, penolong harus mencari pertolongan. (Browne & Holmes, 2004)
Bila memungkinkan, tempatkan alat bantu ‘airway’ oral yang lunak pada mulut penderita untuk mencegah trauma oral dan menjamin drainase sekret selama kejang. Pasien sebaiknya ditempatkan di tempat aman sebelum terjatuh. Selama fase klonik, tangan atau benda lunak dapat digunakan untuk mencegah trauma kepala. Letakkan pasien pada posisi lateral dekubitus untuk menjamin drainase sekret dan mencegah aspirasi.  (Browne & Holmes, 2004)
  1. 2. Prinsip Dasar Tata Laksana Epilepsi
Tujuan utama tata laksana epielpsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien dengan upaya menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya komplikasi dan mencegah timbulnya efek samping obat. (Perdossi, 2007)
Keberhasilan pengobatan epilepsi ditentukan oleh ketepatan diagnosis, jenis obat anti epilepsi (OAE), kepatuhan, sikap dan pengetahuan pasien dan keluarga tentang epilepsi. (Limoa, 2004)
Prinsip-prinsip terapi farmakologis:
  1. Obat anti epilepsi diberikan bila: (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)
    1. Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau sindroma epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.
    2. Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek samping obat yang mungkin timbul.
    3. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis bangkitan atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai mencapai hasil optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan politerapi. Bila kadar OAE kedua telah mencapai kadar terapi, dosis OAE pertama diturunkan bertahap. (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)
    4. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila : (Perdossi, 2007; Browne & Holmes, 2004)
      1. Dijumpai focus epilepsi yang jelas pada EEG
      2. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan
      3. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak.
      4. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung
      5. Riwayat bangkitan simptomatik
      6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
      7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus
      8. Efek samping dan interaksi OAE perlu diperhatikan. (Perdossi, 2007)
      9. 3. Terapi Farmakologis GTCS Primer dan Sekunder
Berdasarkan pedoman tata laksana epilepsi yang dikeluarkan Perdossi tahun 2007 berdasarkan jenis bangkitan, untuk GTCS primer, OAE lini pertama adalah adalah sodium valproat, lamotrigine, topiramate, dan carbamazepine. OAE lini keduanya adalah clobazam, levetiracetam, dan oxcarbazepine. OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah clonazepam, phenobarbital, dan phenytoin. Sementara itu, untuk GTCS sekunder, OAE lini pertama adalah carbamazepine, oxcarbazepine, sodium valproat, topiramate, lamotrigine; OAE lini kedua adalah clobazam, gabapentine, levetiracetam, phenytoin, dan tiagabine; dan OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah clonazepam dan  phenobarbital. Untuk sindrom epilepsi umum tonik-klonik (GTCS), disarankan sodium valproat, lamotrigine, carbamazepine, dan topiramate sebagai OAE lini pertama; levetiracetam sebagai OAE lini kedua; dan clobazam, clonazepam, oxcarbazepine, phenobarbital, dan phenytoin sebagai OAE lain yang dapat dipertimbangkan. (Perdossi, 2007)
Dalam terapi OAE, perlu diperhatikan farmakokinetik obat dan efek samping obat, baik yang terkait dosis maupun idiosinkrasi. (Lumbantobing, 2004)
Tabel 1. Dosis OAE untuk orang dewasa (Perdossi, 2007)
OBATDOSIS AWAL (mg/hari)DOSIS RUMATAN(mg/hari)JUMLAH DOSIS PER HARIWAKTU PARUH PLASMA (jam)WAKTU TERCAPAINYA STEADY STATE (hari)
Carbamazepine400-600400-16002-3x(untuk yg CR 2x)15-352-7
Phenytoin200-300200-4001-2x10-803-5
Asam valproat500-1000500-25002-3x (untuk yg CR 1-2x)12-1820-4
Phenobarbital50-10050-200150-170
Clonazepam141 atau 220-602-10
Clobazam1010-302-3x (untuk yg CR 2x)10-302-6
Oxcarbazepine600-900600-30002-3x8-15
Levetiracetam1000-20001000-30002x6-82
Topiramate100100-4002x20-302-5
Gabapentin900-1800900-36002-3x5-72
Lamotrigine50-10020-2001-2x15-352-6
CR: controlled release
Tabel 2. Efek samping OAE klasik (Perdossi, 2007)
OBATEFEK SAMPING

TERKAIT DOSISIDIOSINKRASI
CarbamazepineDiplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, netropenia, hiponatremiaRuam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, hepatotoksik, sindrom Steven-Johnson, teratogenik
PhenytoinNistagmus, ataksia, mual, muntah, hipertrofi gusi, depresi, mengantuk, anemia megaloblastikJerawat, coarse face, hirsutism, lupus-like syndrome, ruam, sindrom Stevens-Johnson, Dupuytren’s contracture, hepatotoksik, teratogenik
Asam ValporatTremor, BB bertambah, dyspepsia, mual, muntah, kebotakan, teratogenikPankreatitis akut, hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati, edema perifer
PhenobarbitalKelelahan, depresi; pada anak: insomnia, distractibility, hiperkinesia, ititabilitasRuam makulopapular, eksfoliasi, nekrosis epidermal toksik, hepatotoksik, teratogenik, Dupuytren’s contracture, arthritic changes
ClonazepamKelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness; pada anak: agresi, hiperkinesiaRuam, trombositopenia
Tabel 3. Efek samping OAE baru (Perdossi, 2007)
OBATEFEK SAMPING UTAMAEFEK SAMPING SERIUS TETAPI JARANG
LevetiracetamSomnolen, asthenia, ataksia, penurunan ringan eritrosit, hemoglobin, hematokrit
GabapentinSomnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan saluran cerna
LamotrigineRuam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri kepala, gangguan saluran cernaSindrom Stevens-Johnson
ClobazamSedasi, dizziness, iritabilitas, depresi, dysinhibition
OxcarbazepineDizziness, diplopia, ataksia, nyeri kepala, kelemahan, ruam, hiponatremia
TopiramateGangguan kognitif, tremor, dizziness, ataksia, nyeri kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna, batu ginjal

J.1. Medikamentosa
Sejumlah obat-obatan digunakan untuk terapi GTCS. Pilihan obat sebaiknya diseusiakan secara individual dengan pasien dan sindrom epilepsi, tidak hanya tipe kejang.
  • Asam valproat dianggap sebagai lini pertama karena sifatnya yang spectrum luas, termasuk kejang mioklonik.
  • Fenitoin dan karbamazepin merupakan pilihan kedua yang logis di antara obat-obat generasi lama, tetapi obat-obat generasi baru tampaknya bekerja sama efektifnya bila tidak lebih baik, dan mempunyai efek samping ynag lebih ringan, terumata penggunaan jangka panjang.
  • Di antara obat-obat generasi baru, lamotrigine, topiramate, dan zonisamide merupakan obat-obat spectrum luas yang lain yang relative mudah ditoleransi.
  • Fenobarbital tetap digunakan oleh banyak neurologis, walaupun efek sampingnya terhadap kognisis menurunkan penggunaannya.
  • Untuk epilepsi general refrakter, felbamate juga digunakan sebagai obat yang efektif. Efek samping obat ini mengharuskan monitoring blood counts dan tes fungsi hati yang ketat.
J.2. Pembedahan
Studi-studi pendahuluan memperlihatkan stimulasi nervus vagus (VNS) efektif untuk epilepsi general. Food and Drug Administration (FDA) USA telah menerima VNS sebagai salah satu terapi untuk kejang parsial. Dalam suatu penelitisn open label, pasien GTCS berespon baik. Tidak ada pilihan pembedahan yang lain untuk GTCS murni.  the treatment of partial seizures. Open label VNS registry results have also shown some patients with GTCS respond well. No other surgical option exists for pure GTCS.
  1. G. Diet
Diet ketogenik direkomendasikan untuk meningkatkan konrol kejang. Diet ketogenik dikembangkan di Klinik Mayo dan Institut John Hopkins, berdasarkan observasi bahwa bangkitan meningkat bila terjadi perasaan lapar. Mekanisme pasti kerja diet ini masih belum diketahui. Diet ini memperodukasi kondisi ketotik, tetapi memberikan kalori adekuat dari protein dan lemak. Biasanya digunakan untuk epilepsi intractabel, terutama untuk anak-anak. Diet ini jarang diberikan lagi pada orang dewasa, karena diet ini sangat sulit dipertahankan.
Penelitian-penelitian menunjukkan reduksi frekuensi kejang yang bermakna pada 50% pasien yang mendapatkan diet. Efek-efek samping terutama pada traktus GI, termasuk kembung, konstipasi, batu ginjal, penurunan kualitas tulang dan berat badan. Diet ini mengandung perbandingan rasio lemak:karbohidrat= 4:1. Keton pada urin diperiksa tiap hari dan normalnya lebih dari 4.
  1. H. Medikamentosa
Tujuan farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
Kategori Obat: Obat Anti Epilepsi
Obat-obatan ini mencegah rekuerensi bangkitan dan mengakhiri aktivitas bangkitan elektris dan klinis.
L.1. Valproate
Dianggap sebagai pilihan utama epilepsi general primer, mempunyai spectrum yang sangat luas dan efektif pada kebanyakan tipe kejang, termasuk kejang mioklonik. Mempunyai mekanisme kerja multipel termasuk meningkatkan kadar GABA dalam otak dan aktivitas saluran kalsium tipe-T.
Untuk dewasa, dosis inisial valproat injeksi (100mg/ml vial) 10-15 mg/kgBB/hari, tingkatkan 5-20 mg/kgBB/minggu sampai maksimum dosis 60 mg/kgBB/hari atau sampai batas dosis yang ditoleransi; kecepatan pemberian iv 20 mg/menit. Sementara dosis oral sama dengan dosis injeksi. Sementara, untuk anak-anak, dosis inisial adalah 20 mg/kgBB/hari i.v, dan dosis pemeliharaan 30-60 mg/kg/hari iv.v.
L.2. Phenytoin
Efektif pada kejang tonik-klonik dan sering digunakan. Mempunyai efek samping jangka panjangnya berupa osteopenia dan ataksia serebelar. Mempunyai kinetika obat zero-order dan interaksi obat yang signifikan.
Untuk dewasa, loading dose adalah 15-20 mg/kg/hari per oral atau i.v. Dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari per oral atau i.v, dengan kecepatan pemberian tidak melebihi 50 mg/kgBB. Sementara dosis inisial pediatrik adalah 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v, dengan dosis pemeliharaan 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v.
L.3. Fenobarbital
Salah satu oabt anti epilepsi utama yang digunakan sejak awal 1900-an. Sekarang diketahui bahwa obat ini dapat menyebabkan beberapa efek samping kognitif sehingga kemudian kurang disukai. Lebih menguntungkan diberikan dalam bentuk dosis sekali sehari, karena mempunyai waktu paruh yang sangat panjang.
Dosis dewasa adalah 90 mg per oral terbagi dalam 4 dosis, ditingkatkan 30 mg/hari sampai dosis pemeliharaan biasanya adalah 90-120 mg/hari. Sementara itu, dosis inisial pediatric adalah 3-5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 3-5 mg/kgBB/hari per oral.
L.4. Karbamazepin
Obat antiepilesi generasi lama yang digunakan sebagai lini kedua bersama fenitoin. Efek samping adalah osteopenia. Dosis dewasa adalah 400-1200 mg/hari per oral, terbagi dalam 3 kali sehari. Dosis awal 5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 15-20 mg/kgBB/hari per oral.
L.5. Lamotrigine
Obat anti epilepsi generasi lebih baru dengan spectrum kerja yang luas seperti valproat. FDA mengakuinya baik sebagai epilepsi general dan parsial primer. Mempunyai beberapa mekanisme kerja. Kekurangan utamanya adalah dosis harus ditingkatkan sangat perlahan dalam beberapa minggu untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnya rash. Dosis dewasa untuk minggu pertama dan kedua adalah 50 mg/hari per oral; bila diberikan bersama dengan valproat (VPA), mulai dengan 25 mg 4 kali per hari. Pada minggu ketiga dan keempat, 100 mg/hari per oral dalam dosis terbagi; bila diberikan bersama VPA, 25 mg/hari. Tingkatkan 100 mg/hari dalam 4 minggu; bila diberikan bersama VPA, tingkatkan 25-50 mg tiap minggu. Dosis pemeliharaan tanpa VPA adalah 300-500 mg per oral dalam dosis terbagi. Sementara itu dosis pemeliharaan tanpa VPA adalah 100-200 mg/hari per oral. Untuk pediatrik, dosis inisial adalah 1-2 mg/kgBB/hari per oral. Dosis pemeliharaan adalah 5-10 mg/kgBB/hari per oral. Obat ini merupakan satu-satunya obat yang diakui oleh FDA untuk sindrom Lennox-Gastaut untuk pasien berusia kurang dari 16 tahun.
L.6. Zonisamide
Salah satu dari obat generasi baru yang memblok saluran kalsium tipe T, memperpanjang inaktivasi saluran natrium dan merupakan suatu inhibitor karbonik anhidrase. Dosis inisial dewasa adalah 100 mg/kg/hari per oral terbagai dalam 2 dosis, tingkatkan 100mg/hari/minggu sampai ke dosis pemeliharaan 100-300 mg dua kali sehari per oral.
L.7. Felbamat
Obat ini diakui oleh FDA untuk terapi kejang parsial refreakter dan sndrom Lennox-Gastaut. Mempunyai banyak mekanisme kerja, termasuk (1) inhibisi NMDA-associated sodium channels, (2) potensiasi aktivitas GABA-ergic, dan (3) inhibisi voltage-sensitive sodium channels. Hanya digunakan untuk kasus-kasus refrakter karena risiko anemia aplastik dan toksisitas hepar, sehingga dibutuhkan tes darah reguler. Dosis inisial dewasa adalah 600 mg tiga kali sehari per oral, tingkatkan 600-1200 mg/hari tiap minggu sampai dosis maksimum 1200-1600 mg tiga kali per hari per
oral.
L.7. Topiramat
Obat anti epilepsi spektrumluas yang diakui untuk kejang tonik-klonik umum primer. Mekanisme kerjanya meliputi blok kerja state-dependent sodium channel, potensiasi aktivitas inhibitorik dari neurotransmitter GABA, dapat memblok aktivitas glutamate, dan sebagai inhibitor karbonik anhidrase. Dosis dewasa adalah 50 mg/hari per oral, titrasi 50 mg/hari tiap interval 1 minggu sampai dosis target 200 mg 2 kali per hari. Sementara itu, dosis inisial pediatrik adalah 25 mg atau 50 mg/hari per oral; lakukan titrasi sampai dosis 6 mg/kg/hari.
L.8. Levetiracetam
Diindikasikan untuk kejang tonik-klonik primer pada dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih. Diindikasikan untuk kejang umum tonik klonik primer pada dewasa dan dan anak usia lebih dari 6 tahun.
Dosis inisial
dewasa adalah 500 mg 2 kali per hari per oral, dapat ditingkatkan 1000 mg/hari 4 kali dalam 2 minggu, tidak melebihi 1500 mg dua kali per hari. Dosis anak kurang dari 6 tahun belum dapat ditentukan. Untuk anak usia 6-15 tahun, dosis 10 mg/kg per oral 2 kali sehari; dapat ditingkatkan dosis harian 20 mg/kg 4 kali dlaam 2 minggu, tidak melebihi 30 mg/kg dua kali sehari. Untuk anak usia > tahun, dosis sama seperti pada dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar