A. Definisi
Demam typhoid adalah penyakit sistemik yang
disebabkan oleh bakteri salmonella typhi (S. Typhi) atau salmonella paratyphy
(S. Paratyphi) yang masuk ke dalam tubuh manusia. Dan merupakan kelompok penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.4
Demam tyhoid adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 1
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. 5
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan demam
typhoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi atau salmonella paratyphi. Yang masuk kedalam tubuh manusia
(saluran pencernaan) yang ditandai dengan demam, sakit kepala, badan lemah,
anoreksia, bradikardi relatif, serta splenomegali dan juga merupakan kelompok
penyakit yang mudah menular serta menyerang banyak orang sehingga menimbulkan
wabah.
B. Epidemiologi
Typhoid terdapat diseluruh dunia, terutama di
negara – negara yang sedang bekembang di daerah tropis. Sebagai gambaran
kejadian di Jamestown Virginia USA, dimana dilaporkan lebih dari 6000 kematian
akibat wabah typhoid pada periode 1607/1624. Demikian juga pada peperangan di
Afrika Selatan pada akhir abad XIX, dimana pihak Inggris telah kehilangan
13.000 akibat typhoid.1
Di Indonesia typhoid jarang dijumpai secara
epidemis tapi bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak
ada perbedaan yang nyata insiden typhoid pada pria dengan wanita. Insiden
tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengatakan
insiden typhoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810/100.000
penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam typhoid di rumah sakit besar di
Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun
dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. 4
C. Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit demam typhoid
ini adalah bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphii.6
Demam typhoid disebabkan oleh jenis
salmonella tertentu yaitu s. Thypi, s. Paratyphi A, dan s. Paratyphi B dan
kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan s. Typhi
cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang
lain.8
D. Patogenesis
Penularan
salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F
yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat),
dan melalui Feses.
Feses dan
muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana
lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci
tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang
yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman
akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian
distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke
dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk
limpa, usus halus dan kandung empedu.
Di organ –
organ ini bakteri meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di lur
sel dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik. Bakteri berkembang biak bersama cairan empedu diekskresikan secara
intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus, proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti :
demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi. 3
E.
Manifestasi Klinis
Manifestasi demam thypoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi sesuai dengan patogenesis demam typhoid. Spektrum klinis demam
typhoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa
panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang
berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain,
ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau
perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran
klinisnya.6
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam typhoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena
streptococcus atau pneumococcus daripada S.typhi. Menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam typhoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah
endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun
demikian demam typhoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala
meningitis, disisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan
menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran
klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tidak
dapat dibedakan dengan apendisistis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran
peritonitis akibat perforasi usus.
Masa tunas demam thypoid berlangsung antara 10-14 hari gajala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat.
a.
Pada minggu I ditemukan gejala
klinis dan keluhan demam thypoid seperti: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut, batuk, dan epistaksis.
b. Pada minggu II ditemukan gejala-gejala yang
lebih jelas seperti : demam, bradikardi, lidah berselaput (kotor dibagian
tengah tepi dan ujung merah), hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan
mental berupa: stuporkoma, delirium atau psikosis. 3
F.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan
leukosit
Di dalam
beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2.
Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT
pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.8
3.
Biakan darah
Bila biakan
darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik
pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu
laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh
perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang
baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2) Saat
pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella
thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu
berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3) Vaksinasi
di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid
di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti
mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan
darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi
aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga
terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi
oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
Ø Aglutinin O,
yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
Ø Aglutinin
H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
Ø Aglutinin
Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut
hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi
titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang
mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan
dengan klien :
1) Keadaan
umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat
pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah
klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3) Penyakit
– penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid
yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut.
4) Pengobatan
dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.
5) Obat-obatan
imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat
terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6) Vaksinasi
dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa,
titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada
orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7) Infeksi
klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat
mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang
rendah.
8) Reaksi
anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap
salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada
seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.8
b. Faktor-faktor Teknis
1) Aglutinasi
silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies yang lain.
2) Konsentrasi
suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3) Strain
salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.7
G. Penatalaksanaan
1.
Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam typhoid, dengan gambaran klinik yang jelas sebaiknya
dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan.7
Tujuan perawatan adalah :
a.
Optimalisasi pengobatan dan
mempercepat penyembuhan.
b. Observasi terhadap perjalanan
penyakit.
c.
Minimalisasi komplikasi.
d. Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap
pencemaran atau kontaminasi.
a.
Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita
harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur
pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah mencegah komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi
secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Buang air
besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan
kateter urine tetap bila tidak indikasi benar.
b. Nutrisi
1) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran, serta yang sulit makan.
Dosis cairan parenteral adalah sesuai kebutuhan harian (tetesan rumatan).
Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
2) Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita typhoid, biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim,
dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet
padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat
sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara
bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.
Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui
pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi
perdarahan atau perforasi.
3) Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita:
a) Roboransia/vitamin
b) Antipiretik
Antipiretik untuk kenyamanan penderita, terutama anak-anak.
c)
Anti emetik
Anti emetik diperlukan bila penderita muntah hebat.
c.
Kontrol dan monitor dalam
perawatan
Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan pengobatan. Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor adalah:6,7
1) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital
lain.
Petanda vital (suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur serial.
Kurva suhu harus dibuat sempurna pada lembaran rekam medis.
2) Keseimbangan cairan
Cairan yang masuk (infus dan minum) dan cairan yang keluar (urine, feses)
harus seimbang.
3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.
4) Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan
penyakit lain.
5) Efek samping dan atau efek toksik obat.
6) Resistensi antimikroba.
7) Kemajuan pengobatan secara umum
Di samping untuk mengetahui keberhasilan pengobatan, kontrol dan monitor
oleh dokter dan perawat sangat diperlukan untuk :
1) Perubahan dan penghentian terapi.
2) Program mobilisasi.
3) Program perubahan diet.
4) Indikasi pulang perawatan.
2.
Antimikroba
Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam typhoid telah
dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis komplikasi, probable, maupun suspek.
Sebelum antimikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang
lebih dahulu untuk pemeriksaan biakan salmonella (biakan gaal), kecuali
fasilitas biakan ini benar-benar tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan.8
Antimikroba yang harus dipertimbangkan:
a.
Telah dikenal sensitif dan
potensial untuk typhoid.
b. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat
berpenentrasi dengan baik ke jaringan serta mempunyai sifat afinitas yang
tinggi menuju organ sasaran.
c.
Berspektrum sempit.
d. Cara pemberian yang mudah dan dapat
ditoleransi oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil.
e. Efek samping yang minimal.
f.
Tidak mudah resisten dan efektif
mencegah karier.
Pilihan antimikroba untuk demam typhoid
a.
Kloramfenikol
Kloramfenikol berasal dari: Streptomyces
venezuelae, Streptomyces
phaeochromogenes, Sterptomyces
omiyamensis. Sejak tahun 1950
kloramfenikol sudah dibuat
secara sintesis dan diperoleh struktur kimianya yaitu:
1-(p-nitrofenil)-2-diklorasetamido-1,3-propandiol. Pada tiamfenikol gugus NO2 diganti –SO2-CH3. Bentuk yang aktifnya adalah bentuk levo nya. Zat ini larut sedikit dalam
air (1:400) dan relatif stabil. Obat ini diinaktifasi dengan mereduksi gugus
nitro dan menghidrolisis ikatan amida, serta terjadi asetilasi. Turunan
kloramfenikol khasiatnya tidak ada yang melebihi kloramfenikol. Karena sangat
pahit, pada anak-anak digunakan bentuk ester palmitat. Senyawa ini akan
aktif setelah mengalami hidrolisis dalam tubuh. Untuk dewasa dapat
dibuat dalam bentuk kapsul. Untuk pemakaian parenteral digunakan garam
ester natrium monosuksinat.
Kloramfenikol
mempunyai spektrum antimikroba yang luas. Daya kerjanya bakteriostatik terhadap
bakteri intraseluler maupun ekstraselulair. Untuk beberapa spesies H. influenzae
berdaya kerja bakterisida.
1) Mekanisme Kerja :
Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein
bakteri. Obat dengan mudah masuk ke dalam sel melalui proses difusi
terfasilitas. Obat mengikat secara reversibel unit ribosom 50S,
sehingga mencegah ikatan asam amino yang mengandung ujung aminoasil t-RNA
dengan salah satu tempat berikatannya di ribosom. Pembentukan ikatan peptida dihambat selama
obat berikatan dengan ribosom. Kloramfenikol juga dapat menghambat sintesis
protein mitokondria sel mamalia disebabkan ribosom mitokondria mirip dengan
ribosom bakteri.
2) Resistensi :
Secara invivo
resistensi bakteri gram – terhadap kloramfenikol disebabkan adanya plasmid
khusus yang didapat pada konjugasi. a
asetil transferase khusus yang menginaktivasi obat dengan menggunakan asetil
koenzim A sebagai donor gugus asetil. H.influezae yang resisten terhadap
kloramfenikol mengandung faktor resisten yang dapat dipindahkan ke E.coli dan
galur H.influenzae lainnya. Hilangnya sensitivitas terhadap kloramfenikol
disebabkan degradasi enzimatik, juga dapat disebabkan karena menurunnya
permeabilitas dinding mikroorganisme atau karena mutasi ribosom.
Resistensi terhadap kloramfenikol relatif sedikit dan berlangsung lambat
dibandingkan terhadap tetrasiklin.
3) Farmakokinetik :
Pemberian oral kloramfenikol diabsorpsi dengan
cepat. Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 2 jam. Kloramfenikol palmitat
atau stearat dihidrolisis menjadi kloramfenikol oleh lipase pancreas dalam
duodenum. Ketersediaan hayati kloramfenikol lebih besar dari pada bentuk
esternya, karena hidrolisis esternya tidak sempurna. Untuk pemakaian parenteral
digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis di jaringan
menjadi kloramfenikol. Pemberian intramuscular sulit diabsorpsi shg tidak
dianjurkan. Pemberian intravena kadar maksimum kloramfenikol aktif sama seperti
pada pemberian oral.
4) Distribusi :
Distribusinya luas termasuk ke jaringan otak,
cairan serebrospinal dan mata. Kloramfenikol ditemukan dalam empedu, ASI dan
melewati sawar placenta.
5) Ekskresi :
Kloramfenikol dan metabolitnya diekskresi melalui urin dengan cara
filtrasi glomerulus dan sekresi. Dalam waktu 24 jam 75-90% dosis oral
diekskresi dalam bentuk metabolit dan 5-10% dalam bentuk asal. Waktu paruh pada
orang dewasa kira-kira 4 jam. Pada pasien yang mengalami gangguan hati waktu
paruh lebih panjang menjadi 5-6 jam karena metabolismenya terlambat. Pada
pasien gagal ginjal waktu paruh koramfenikol tidak berubah tetapi metabolitnya
mengalami akumulasi
6) Efek samping dan
toksisitas
a)
Reaksi
hipersensitivitas.
Walaupun relatif jarang dapat timbul pemerahan
kulit, angioudema, urtikaria, anafilaksis dan demam.
b)
Reaksi
hematologik.
Reaksi toksik utama adala depresi sumsum tulang,
sehingga terjadi kelainan darah, anemia. Kelainan ini
tergantung pada dosis, bila obat dihentikan maka kelainan akan sembuh. Pengaruh
genetik tidak tergantung dosis, bisa terjadi anemia aplastis yang irreversibel
sehingga dapat menimbulkan kematian, walaupun sembuh dapat terjadi leukemia
akut. Kloramfenikol sebaiknya tidak diberikan jika penyakit dapat disembuhkan
dengan obat lain atau jika penyakit belum jelas.
c)
Gray sindroma.
Pada neonatus terutama bayi prematur yang
mendapat dosis tinggoi (200mg/kg BB) dapat terkena gray sindroma pada hari ke 4
terapi. Gejala gray sindroma adalah:
Ø mula-mula bayi muntah,
Ø tidak mau menyusu,
Ø pernafasan cepat dan tidak teratur,
Ø perut kembung,
Ø sianosis,
Ø feses berwarna hijau dan diare,
Ø selanjutnya bayi lemas dan berwarna abu-abu.
Ø hipotermia, 40% kasus terjadi kematian.
Efek toksik ini terjadi karena:
· Sistem
metabolisme yaitu konjugasi melalui enzim glukuronil transferase
belum sempurna.
· Kloramfenikol
yang tidak terkonjugasi
belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal.
· Bayi
kurang dari 1 bulan dosisnya tidak boleh dari 25 mg/kg BB sehari. Bayi lebih
dari 1 bulan 50 mg/kg BB sehari.
Reaksi neurologic :
-depresi, bingung, delirium dan sakit
kepala.
Efek biologik lain: dapat
mengubah mikroflora normal.
7) Indikasi :
Demam tifoid.
•
Kloramfenikol
masih merupakan obat terpilih untuk demam tifoid dan infeksi salmonella lain.
•
Ampisilin dan
amoksisilin juga efektif untuk demam tifoid.
•
Galur
yang sudah resisten digunakan kombinasi trimetiprim-sulfametoksazol
(kotrimoksazol).
•
Dosis
kloramfenikol 4 kali 500 mg selama 2-3 minggu.8
Kloramfenikol yang telah digunakan selama kira-kira 20 tahun mempunyai
pengaruh besar pada perjalanan penyakit demam typhoid. Antimikroba ini menurunkan
angka mortalitas dari 20% menjadi 1%, dan lamanya demam dari 14-18 hari menjadi
3-5 hari. Demam typhoid harus diobati dengan kloramfenikol dosis 50
mg/Kgbb/hari secara intravena atau oral selama 2 minggu atau 50-75 mg/kgbb/hari
pada anak-anak dan 3-4 gram/hari pada dewasa secara oral selama 2 minggu dan
dosis dapat diturunkan menjai/di 2 gr/hari atau 30 mg/kgbb/hari bila penderita
bebas panas.
Kasus demam typhoid yang disebabkan strain S.typhi yang rsisten terhadap
kloramfenikol dilaporkam secara sporadis pada beberapa negara, tetapi epidemi
pertama strain yang resisten dengan perantaraan plasmid dilaporkan di Meksiko
pada tahun 1972. Strain ini resisten terhadap kloramfenikol, streptomisin,
silfonamida dan tetrasiklin. Strain lain dari s. Typhi yang resisten
kloramfenikol dengan pola resistensi yang sama, tetapi termasuk tipe faga yang
berbeda, dilaporkan kemudian di India, Vietnam, Thailand, dan Peru.
Meskipun 30-80% isolat di negara-negara sepeerti Peru dan Vietnam adalah
resisten terhadap kloramfenikol, strain yang resisten tetap jarang ditemukan di
Chili dan Thailand (kurang dari 1%). Pada penelitian selama 6 bulan di Quetta
Pakistan dari 62 pasien demam typhoid dilaporkan 48 (77%) telah resisten
terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksasol.
Di Indonesia, S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol jarang
dijumpai. Punjabi. Dkk melaporkan 3 strain resisten terhadap kloramfenikol dari
170 isolat S.typhi (1,8%). Mohario dkk melaporkan di Jakarta pada tahun 1986
strain yang resisten adalah 16,7% . Wahyono melaporkan 3,5 srain yag resisten
di Semarang pada tahun 1992. Sedangkan di Bio Farma Bandung dan RSAB Harapan
Kita menunjukkan 100% sensitif terhadap kloramfenikol. Di Laboratorium
Mikrobiologi FKUI 1992 dari pemeriksaan kepekaan kuman didapatkan hasil isolat
S.typhi yang masih sensitif terhadap kloramfenikol adalah 95, 73%.
Disamping adanya resistensi terhadap obat antimikroba, tingginya
rata-rata carier S.typhi yang kronis, toksisitas kloramfenikol terhadap sumsum
tulang (meskipun jarang dijumpai anemia aplastik , tetapi dapat bersifat
fatal dan lebih sering setelah penggunaan kloramfenikol) dan tingginya angka
kematian di negara berkembang, maka kesemua hal ini menjadikan kloramfenikol
sekarang tidak lagi menjadi obat yang ideal untuk demam typhoid. Selain itu
sekaliun diberikan secara oral selama 2 minggu dengan dosis yang tepat, masih
terdapat angka kekambuhan yang bermakna besar 10-25%. Bila terjadi wabah
sebaiknya digunakan amiksisilin dan kotrimoksasol sebagai pengobatan alternatif
untuk demam typhoid. 6
b. Ampisilin dan Amoksisilin
1) Sifat Kimia
Penisilin terdiri dari cincin berupa inti siklik pada gugus amida dan
dapat diikat berbagai radikal dan diperoleh berbagai jenis penisilin. Dalam
suasana basa atau pengaruh enzim penisilinase inti β laktam terbuka sehingga
penisilin terurai menjadi asam penisiloat. Pengaruh amidase terurai menjadi
asam 6-amino penisilinat.
2) Mekanisme Kerja
Antibiotika β laktam
I bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba. Efek
bakterisida ditujukan pada mikroba yang sedang aktif membelah. Pada waktu
pembelahan sel sebagian dari dinding sel induk dilisis oleh enzim asetil
muramidase. Enzim transpeptidase yang diperlukan untuk pembentukan
dinding sel baru diblokir oleh penisilin sehingga pembentukan dinding sel tidak
sempurna sehingga bakteri mati.
3) Farmakokinetik
a) Absorbsi
Penisilin G tidak
tahan terhadap suasana asam (pH 2). Cairan lambung (pH 4) tidak terlalu
merusak. Garam Na Penisilin G oral diabsorpsi di duodenum. Adanya makanan akan
menghambat absorpsi. Kadar maksimal dalam
darah tercapai dalam 30-60 menit. Pemberian i.m kadar maksimal dalam darah 15-30 menit. Penisilin V walaupun
relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan di bagian atas saluran cerna
sehingga tidak sempat diabsorpsi.
Ampisilin absorpsinya tergantung ada tidaknya makanan. Adanya makanan
dalam saluran cerna menghambat absorpsi. Amoksisilin absorpsinya di saluran
cerna jauh lebih baik dari pada ampisilin. Waktu paruhnya sama. Karbenisilin tidak diabsorpsi di saluran
cerna
b) Distribusi
Penisilin G
diistribusi luas dalam tubuh, jumlah yang besar terdapat dalam hati, empedu,
ginjal, usus, limfe dan semen, cairan serebrospinal sukar dicapai. Ampisilin
didistribusi secara luas dalam tubuh. Penetrasi pada SSP efektif bila ada
radang meningen. Pada bronchitis dan pneumonia ampisilin disekresi melalui
sputum 10% dari kadar di serum. Bila diberikan sesaat sebelum persalinan
kadar dalam fetus sama dengan kadar darah ibu. Pada bayi premature dan neonatus
kadar dalam darah lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah. Amoksisilin
dan karbenisilin distribusinya sama dengan ampisilin.
c)
Efek Samping
Reaksi alergi sering
ditimbulkan oleh pemberian penisilin khususnya penisilin G. Bisa terjadi anemia
hemolitik, gangguan fungsi hati dapat berkembang menjadi hepatitis. Efek
samping lain berupa gangguan mulut (lidah seperti ditumbuhi jamur), diare
ringan, mual, muntah kadang-kadang kelemahan dan pengurangan bobot badan. Efek
toksik penisilin terhadap SSP dapat menimbulkan epilepsi karena pemberian
penisilin intra vena dosis tinggi. Ampisilin, oksasilin dan karbenisilin dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati.10
Aminopenisilin kurang efektif dibandingkan dengan kloramfenikol pada
pengobatan penyakit akut. Obat antimikroba ini digunakan untuk mengobati kasus
yang ringan atau disebabkan oleh kuma penyebab yang resisten terhadap
kloramfenikol. Diberikan dengan dosis 100mg/kgbb/hari secara intra vena atau
oral. Meskipun waktu untuk menurunkan demam dilaporkan lebih lambat dengan
ampisilin daripada kloramfenikol, hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
diperoleh respon lebih cepat dengan amoksisilin daripada kloramfenikol.12
Pengobatan amoksisilin atau ampisilin umumnya digunakan bersamaan dengan
kholesistektomi untuk pengobatan carier thypoid kronis dengan penyakit kantung
empedu daripada untuk pengobatan penyakit akut. Tidak sering timbul kekambuhan.
Keadaan yang paling tidak menguntungkan adalah kemungkinan resistensi terhadap
obat, stran S.Typhi yang resisten terhadap ampisilin juga resisten terhadap
amoksisilin dan sebaliknya. Di Indonesia, uji kepekaan isolat S. Typhi
terhadap ampisilin oleh Soemara menunjukkan 95.5 – 100% sensitif, oleh Mohaeria
98,6, oleh Soewandojo dkk dan RSAB 100%. Di laboratorium mikrobioogi FK UI.
1992 dari pemeriksaaan kepekaan kuman didapatkan hasil 100% isolat S.thypi
sensitif terhadap ampisilin.9
c.
Kotrimoksazol
Kotrimoksazol terdiri dari
Trimethoprim (TM) dan Sulfamethoxazole (SMZ) dengan perbandingan 80 mg dan 400
mg. Sediaannya biasanya ada bermacam-macam, diantara : pediatric tab ( TM 20
mg, SMZ 100mg) adult tab (TM 80 mg, SMZ 400 mg)forte tab (TM 160 mg, SMZ 800 mg
) syrup ( per 5 ml : TM 40 mg , SMZ 200 mg).
1) Spektrum Antibakteri
Mikroba yang peka terhadap
kombinasi antimikroba kotrimoksazol ialah: Str. Pneumoniae, C. diphteriae,
dan N. meningitis, 50-59% strain S. aureus, S. epidermidis, Str.
pyogenes, Str. viridans, Str. faecalis, E. coli, Pr. mirabilis, Pr. morganii,
Pr. rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonella, Shigella, Serratia
dan Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Juga beberapa strain
stafilokokus yang resisten terhadap Metisilin, Trimetropim atau Sulfametoksazol
sendiri, dan mikroba yang peka terhadap kombinasi antimikroba ini.
Kedua antimikroba memperlihatkan
interaksi sinergistik (bekerja saling menguatkan). Kombinasi antimikroba ini
mungkin efektif walaupun mikroba telah resisten terhadap Sulfonamid (golongan
dari Sulfametoksazol) dan agak resisten terhadap Trimetropim. Daya kerja yang
sinergi akan maksimal bila mikroba peka terhadap kedua antimikroba tersebut.
2) Mekanisme
Kerja
Aktivitas
kombinasi antimikroba Kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap
yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk Asam tetrahidrofolat.
Sulfometoksazol menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul Asam folat
dan Trimetropim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari asam dihidrofolat
menjadi Tetrahidrofolat. Trimetropim menghambat enzim Dihidrofolat reduktase
mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga
terdapat pada sel manusia.
Kotrimoksasol
sangat efektif pada pengobatan demam typhoid. Obat antimikroba ini bersifat
bakterisidal, bukan seperti kloramfenikol yang bersifat bakteriostati.
Pengobatan dengan kotrimoksasol juga ada kaitannya dengan angka kekambuhan yang
lebih rendah daripada kloramfenikol. Yang dikutirkan adalah timbulnya organisme
yang resisten terhadap trimetropin. Sampai saat ini belum diketahui apakah
sulfonamid yang telah diketahui resisten terhadap salmonella menyebabkan
resisten pula pada kotrimoksasol.
Jenis S.
Typhi yang resisten terhadap kotrimoksasol telah meningkat cepat di Asia
Timur pada tahun-tahun terakhir ini. Masalah lebih adalah sebagian besar isolat
S.Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol dan ampisilin juga resisten
terhadap kotrimiksasol. Dosis yang diberikan adalah: trimetropin 320-640
mg/hari, dengan sulfametoksasol 1600-3200 mg/hari. Dari hasil uji kepekaan di
Laboratorium Mikrobiologi FkUI 1992 didapatkan S.Typhi 97,60%
sensitif terhadap kotrimoksasol.
d. Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefiksim adalah suatu
sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral. Sefalosporin
generasi ketiga sudah dikembangkan menjadi berbagai derivat antara lain
sefoperason, sefotaxime, seftasidim, seftizoxim, seftriakson, sefiksim,
sefpodoksim proxetil, sefdinir, sefditoren pivoxil, seftibuten, dan moxalaktam.
Sefalosporin generasi ketiga umumnya harus diberikan secara perenteral, hanya
beberapa saja yang dapat diberikan peroral, yaitu sefiksim,sefdinir dan
seftibuten.
1) Spektrum Antibakteri
In vitro, Obat ini stabil
terhadap berbagai jenis betalaktamase dan mempunyai spektrum antibakteri
menyerupai spektrum sefotaksim. Obat ini terutama aktif terhadap bakteria
Gram-negatif aerobik tidak aktif terhadap S aureus, enterokokus (E faecalis),
pneumokokus yang resisten terhadap penisilin, dan juga terhadap pseudomonas
spp, L monocytogenes, Acinetobacter dan B fragfilis. Terhadap N gonorrhoeae
aktivitas cefiksim sangat baik dengan KHM ≤0.001 – 0.063 mg/L. Umumnya sefiksim
aktif terhadap bakteria anaerob,seperti Peptostretococcus magnus, Bacteroides
distasonis, Peptostreptococcus spp, Lactobacillus spp dan Veillonella spp,tapi
tidak aktif terhadap B fragilis Terhadap S typhi yang sudah resisten dengan
ampisilin dan derivat kuinolon (MDR=multi drug resistant), sefiksim terbukti
masih aktif.
2) Mekanisme
Kerja
Secara umum mekanisme kerja
sefiksim sama dengan derivat sefalosporin lainnya, yaitu dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Sefiksim mempunyai afinitas kuat dengan
penicillin-binding proteins (PBP) 3, 1a dan 1b. Aktivitas obat ini dalam
melisis kuman berlangsung cepat ( rapid lytic action), hal ini dihubungkan
dengan afinitasnya terhadap PBP-1b. Afinitas sefiksim terhadap PBP 2 sangat
lemah, dan ini menyebabkan obat ini tidak aktif terhadap S aureus dan
coagulase-negative staphylococci.
3) Farmakokinetik
Absorpsi sefiksim melalui oral berjalan
lambat dan tidak lengkap. Bioavailabilitas absolut sekitar 40% sampai 50% saja.
Dalam bentuk suspensi obat ini diabsorpsi lebih baik dari bentuk tablet makanan
tidak mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi. Kadar tinggi terdapat pada
empedu dan urin. Sefiksim diekskresi terutama melalui ginjal, 50% dari jumlah
yang diabsorpsi dieskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal dalam waktu 24 jam,
. Ekskresi melalui empedu sekitar 10% dari dosis. Obat ini dimetabolisme
dihati. Waktu paruh eliminasi dalam serum antara 3-4 jam, dapat memanjang pada
kelainan fungsi ginjal. Obat ini tidak bisa dikeluarkan dari tubuh dengan
hemodialisis ataupun dengan dialisis peritoneal.
4) Interaksi Obat
Pemberian beberapa obat tertentu
bersama dengan sefiksim dapat timbul interaksi. Karbamasepin. Pemberian bersama
dengan sefeksim dapat menyebabkan peningkatan kadar karbamasepin dalam
darah,sehingga perlu pengamatan terhadap efek toksik karbamasepin dan
mempertimbangkan kemungkinan dilakukan penyesuaian dosis obat ini. Pemberian
bersama sefiksim dapat menyebabkan perpanjangan waktru protrombin (prothrobin
time), tanpa atau dengan gejala perdarahan.7
Sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim, dan sefoperason)
adalah obat antimikroba yang diberikan secara parenteral dan dapat digunakan
untuk mengobati demam typhoid. Efek obat ini terhadap S.Typhi, bila diberikan
secara intra vena atau intra muskular, sama seperti kloramfenikol pada beberapa
penelitian. Meskipun bakteremia lebih cepat diatasi dengan seftriakson namun
waktu untuk menurunkan panas lebih cepat dengan kloramfenikol.
Kebanyakan penelitian dengan menggunakan sefalosporin generasi ketiga
pada infeksi salmonella memberikan obat untuk 10-14 hari. Pada penelitian skala
kecil, seftriakson ternyata lebih efektif bila diberikan hanya 2-3 hari,
meskipun angka kekambuhan pada pengobatan jangka pendek tidak selalu dapat
diukur. Tidak seperti kuinolon, seftriakson dapat digunakan pada anak-anak dan
wanita hamil. Dosis yang dianjurkan untuk 7 hari pengobatan dengan seftriakson
dapat diturunkan menjadi 3 hari dengan pemberian 3-4g sekali sehari pada orang
dewasa atau 80 mg/kgbb sekali sehari selama 5 hari pada anak-anak tanpa
kehilangan efek penyembuhann. Ternyata untuk organisme yang resisten terhadap
beberapa obat antimikroba, suntikan sefalosporin generasi ketiga (terutama
seftriakson, waktu paruh lebih lama, angka kekambuhan lebih rendah dibanding
sefalosporin lain), nampaknya menjadi pilihan untuk anak-anak , Bhutta dkk
menganjurkan pemberian sefiksim secara oral yang mungkin sama efektifnya dengan
seftriakson yang diberikan secara parenteral untuk demam tifoid pada anak-anak.11
e. Kuinolon
1) Mekanisme Kerja
Pada saat perkembangbiakkan kuman ada yang namanya replikasi
dan transkripsi dimana terjadi pemisahan double helix dari DNA kuman menjadi 2
utas DNA. Pemisahan ini akan selalu menyebabkan puntiran berlebihan pada double
helix DNA sebelum titik pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan
bantuan enzim DNA girase. Peranan antibiotika golongan Kuinolon &
Flurokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat
bakterisidal, sehingga kuman mati.
2) Spektrum Antibakteri
Kuinolon aktif terhadap beberapa kuman Gram-Negatif antara
lain : E. Coli, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Kuinolon ini bekerja
dengan menghambat subunit A dari Enzim DNA graise Kuman, Akibatnya reflikasi
DNA terhenti. Flurokuinolon lama (Siproflaksin, Ofoflaksin, Norfloksasin)
mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. Coli, Klebsiella,
Enterobacter, Proteus, H. Influenzae, Providencia, Serratia, Salmonelle, N.
Meningitis, n. Gonorrhoeae, B. Catarrhalis dan Yersinia Entericolitia, tetapi
terhadap kuman Gram-Fositif daya antibakteinya kurang baik. Flurokuinolon Baru
( Moksifloksasin, Levloksasin ) mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap
kuman Gram Positif dan kuman Gram-Negatif, serta kuman atipik (Mycoplasma,
chlamdya), Uji klinik menunjukan bahwa flurikuinolon baru ini efektif untuk
bakterial bronkitis kronis.
3) Resistensi
Resistensi terhadap kuinolon
dapat trejadi melalui 3 Mekanisme, yaitu :
·
Mutasi Gen gyr A yang menyababkan subunit A dari DNA graise kuman
berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi.
·
Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat
kedalam sel.
·
Peningkatan Mekanisme Pemompaan obat keluar sel (efflux).
4) Farmakokinetik
Asam Nalidiksat diserap
baik melalui saluran cerna tetapi dengan cepat dieksresikan melalui Ginjal.
Flurokinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan dengan asam
nalidiksat. Pefloksasin adalah Flurokuinolon yang absorpsinya paling baik dan
masa paruh eliminasinya paling panjang. Bioavailabilitasnya pada pemberian
peroral sama dengan pemberian parenteral. Penyerapan Siproflaksin dan
Flurokiunolon lainnya akan terhambat bila diberikan bersama Antasida. Sifat
Flurokuinolon yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai
kadar tinggi dalam prostat, dan cairan serebrospinalis bila ada meningitis,
sifat lainnya yang menguntungkan adalah masa paruh eliminasinya panjang
sehingga obat cukup diberikan 2 kali dalam sehari.8
Obat antimikroba kuinolon mungkin merupakan pilihan pengobatan saat ini
untuk demam typhoid pada orang dewasa dan harus digunakan sebagai pengobatan
awal pada penderita yang terkena penyakit di India atau Timur Tengah, dimana
berbagai strain telah dilaporkan resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin,
dan kotrimoksasol. Kuinolon sangat efektif terhadap spesies Salmonella in
vitro, penetrasinya sangat baik ke dalam makrofag, dan mencapai konsentrasi
tinggi dalam rongga usus dan empedu. Obat antimikroba ini dapat mengurangi
carrier kronis dan angka kekambuhan.
Siprofloksasin telah digunakan secara efektif dengan dosis oral 500 mg 2
kali sehari selama 10-14 hari pada penderit dengan demam typhoid yang resisten
terhadap beberapa obat antimikroba. Kuinolon lain termasuk norfloksasin,
ofloksasin, dan fleroksasin ternyata efektif pada percobaan klinik. Kuinolon
tidak dapat digunakan rutin pada anak-anak karena dapat menimbulkan kerusakan
tulang pada binatang percobaan dan juga pada wanita hamil.9
H. Komplikasi
a.
Komplikasi intestinal
1) Perdarahan
usus
2) Perporasi
usus
3) Ilius
paralitik
b. Komplikasi
extra intestinal
1) Komplikasi
kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,
tromboplebitis.
2) Komplikasi
darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3) Komplikasi
paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi
pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi
ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi
pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7) Komplikasi
neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.11
I.
Prognosis
Prognosis baik bila diagnosa
cepat ditegakkan dan pemberian antibiotik yang sesuai. Faktor lainnya adalah
keadaan umum dan nutrisi yang baik, dan tidak adanya komplikasi. Bila tanpa
komplikasi, maka penyembuhan secara bertahap terjadi dalam 2-4 minggu. Pada
anak dengan keadaan malnutrisi dan terinfeksi dengan strain multidrug resisten,
maka prognosisnya menjadi jelek. Begitu juga bila disertai komplikasi seperti
meningitis.9
J.
Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan
pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum
makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum
dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari
makanan pedas.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Harjono
H. Problem Demam Tifoid di Indonesia dan
Khususnya di Jakarta. Dalam Simposium Demam Tifoid ; Jakarta,1980 : 1-10.
2. Hadinegoro
SR. Masalah Multi Drug Resistence pada Demam Tifoid Anak. Cermin Dunia
Kedokteran 1999; 124 : 5-10.
3. Hidayati.
2011. Perkembagan Terkii Terapi Demam Typoid. www. Jurnalmedika.com
diakses tanggal
4. Wheleer,
David T. 2001. Typoid Fever.
www.Emedicine.Com diakses 23 Januari 2013
5. World
Health Organization. 2003. Backgroud
Document : The Diagnosis, Treatment and prevention of typhoid fever. World
Health Organization : Geneva.
6. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8.
7. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
8. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
9. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta
: BP FKUI, 2002:367-75.
10. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
11. Darmowandowo D. Demam Tifoid.
Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya
Intellectual Club, 2003:19-34.
12. Darmowandowo W. Demam tifoid.
Media IDI 1998; 23:4-7.