Cari Blog Ini

10/06/14

Demam Tifoid (Typhoid Fever)


A.      Definisi
Demam typhoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi (S. Typhi) atau salmonella paratyphy (S. Paratyphi) yang masuk ke dalam tubuh manusia. Dan merupakan kelompok penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.4
Demam tyhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. 5
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan demam typhoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi atau salmonella paratyphi. Yang masuk kedalam tubuh manusia (saluran pencernaan) yang ditandai dengan demam, sakit kepala, badan lemah, anoreksia, bradikardi relatif, serta splenomegali dan juga merupakan kelompok penyakit yang mudah menular serta menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah.
B.      Epidemiologi
Typhoid terdapat diseluruh dunia, terutama di negara – negara yang sedang bekembang di daerah tropis. Sebagai gambaran kejadian di Jamestown Virginia USA, dimana dilaporkan lebih dari 6000 kematian akibat wabah typhoid pada periode 1607/1624. Demikian juga pada peperangan di Afrika Selatan pada akhir abad XIX, dimana pihak Inggris telah kehilangan 13.000 akibat typhoid.1
Di Indonesia typhoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insiden typhoid pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengatakan insiden typhoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar  350-810/100.000 penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam typhoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun  dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. 4
C.      Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit demam typhoid ini adalah bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphii.6
Demam typhoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Thypi, s. Paratyphi A, dan s. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan s. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain.
D.      Patogenesis
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Di organ – organ ini bakteri meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di lur sel dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Bakteri berkembang biak bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus, proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala  reaksi inflamasi sistemik seperti : demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi. 3
E.       Manifestasi Klinis
Manifestasi demam thypoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sesuai dengan patogenesis demam typhoid. Spektrum klinis demam typhoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya.6
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam typhoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena streptococcus atau pneumococcus daripada S.typhi. Menggigil  tidak biasa didapatkan pada demam typhoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam typhoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, disisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendisistis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Masa tunas demam thypoid berlangsung antara 10-14 hari gajala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat.
a.       Pada minggu I ditemukan gejala klinis dan keluhan demam thypoid seperti: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,  obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis.
b.      Pada minggu II ditemukan gejala-gejala yang lebih jelas seperti : demam, bradikardi, lidah berselaput (kotor dibagian tengah tepi dan ujung merah), hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan mental berupa: stuporkoma, delirium atau psikosis. 3
F.       Pemeriksaan Penunjang
1.        Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2.          Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.8
3.          Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

1)       Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2)    Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3)    Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
4.        Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
Ø  Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
Ø   Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
Ø   Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1)        Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2)        Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3)        Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4)        Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
5)        Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6)        Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7)        Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
8)        Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.8
b. Faktor-faktor Teknis
1)        Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2)        Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3)        Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.7
G.     Penatalaksanaan
1.       Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam typhoid, dengan gambaran klinik yang jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan  lain yang ada fasilitas perawatan.7
Tujuan perawatan adalah :
a.       Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan.
b.      Observasi   terhadap perjalanan penyakit.
c.       Minimalisasi komplikasi.
d.      Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran atau kontaminasi.
a.       Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Buang air besar  dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan kateter urine tetap bila tidak indikasi benar.
b.      Nutrisi
1)        Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran, serta yang sulit makan.
Dosis cairan parenteral adalah sesuai kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
2)        Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita typhoid, biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.
Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan atau perforasi.
3)        Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita:
a)      Roboransia/vitamin
b)      Antipiretik
Antipiretik untuk kenyamanan penderita, terutama anak-anak.
c)       Anti emetik
Anti emetik diperlukan bila penderita muntah hebat.
c.       Kontrol dan monitor dalam perawatan
Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan. Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor adalah:6,7
1)      Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain.
Petanda vital (suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur serial. Kurva suhu harus dibuat sempurna pada lembaran rekam medis.
2)      Keseimbangan cairan
Cairan yang masuk (infus dan minum) dan cairan yang keluar (urine, feses) harus seimbang.
3)      Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.
4)      Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain.
5)       Efek samping dan atau efek toksik obat.
6)      Resistensi antimikroba.
7)      Kemajuan pengobatan secara umum
Di samping untuk mengetahui keberhasilan pengobatan, kontrol dan monitor oleh dokter dan perawat sangat diperlukan untuk :
1)      Perubahan dan penghentian terapi.
2)      Program mobilisasi.
3)      Program perubahan diet.
4)      Indikasi pulang perawatan.
2.       Antimikroba
Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam typhoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis komplikasi, probable, maupun suspek. Sebelum antimikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang lebih dahulu untuk pemeriksaan biakan salmonella (biakan gaal), kecuali fasilitas biakan ini benar-benar tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan.8
Antimikroba yang harus dipertimbangkan:
a.       Telah dikenal sensitif dan potensial untuk typhoid.
b.      Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenentrasi dengan baik ke jaringan serta mempunyai sifat afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
c.       Berspektrum sempit.
d.      Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil.
e.      Efek samping yang minimal.
f.        Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.
Pilihan antimikroba untuk demam typhoid
a.       Kloramfenikol
Kloramfenikol berasal dari: Streptomyces venezuelae, Streptomyces phaeochromogenes, Sterptomyces omiyamensis. Sejak tahun 1950 kloramfenikol sudah dibuat secara sintesis dan diperoleh struktur kimianya yaitu: 1-(p-nitrofenil)-2-diklorasetamido-1,3-propandiol. Pada tiamfenikol gugus NO2 diganti –SO2-CH3. Bentuk yang aktifnya adalah bentuk levo nya. Zat ini larut sedikit dalam air (1:400) dan relatif stabil. Obat ini diinaktifasi dengan mereduksi gugus nitro dan menghidrolisis ikatan amida, serta terjadi asetilasi. Turunan kloramfenikol khasiatnya tidak ada yang melebihi kloramfenikol. Karena sangat pahit, pada anak-anak digunakan  bentuk ester palmitat. Senyawa ini akan aktif setelah mengalami hidrolisis dalam tubuh. Untuk dewasa dapat dibuat dalam bentuk kapsul. Untuk pemakaian parenteral digunakan garam  ester natrium monosuksinat.
Kloramfenikol mempunyai spektrum antimikroba yang luas. Daya kerjanya bakteriostatik terhadap bakteri intraseluler maupun ekstraselulair. Untuk beberapa spesies H. influenzae berdaya kerja bakterisida.
1)      Mekanisme Kerja :
Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein bakteri. Obat dengan mudah masuk ke dalam sel melalui proses difusi terfasilitas. Obat mengikat secara reversibel unit ribosom 50S, sehingga mencegah ikatan asam amino yang mengandung ujung aminoasil t-RNA dengan salah satu tempat berikatannya di ribosom. Pembentukan ikatan peptida dihambat selama obat berikatan dengan ribosom. Kloramfenikol juga dapat menghambat sintesis protein mitokondria sel mamalia disebabkan ribosom mitokondria mirip dengan ribosom bakteri.
2)      Resistensi :
Secara invivo resistensi bakteri gram – terhadap kloramfenikol disebabkan adanya plasmid khusus yang didapat pada konjugasi. a asetil transferase khusus yang menginaktivasi obat dengan menggunakan asetil koenzim A sebagai donor gugus asetil. H.influezae yang resisten terhadap kloramfenikol mengandung faktor resisten yang dapat dipindahkan ke E.coli dan galur H.influenzae lainnya. Hilangnya sensitivitas terhadap kloramfenikol disebabkan degradasi enzimatik, juga dapat disebabkan karena menurunnya permeabilitas dinding  mikroorganisme atau karena mutasi ribosom. Resistensi terhadap kloramfenikol relatif sedikit dan berlangsung lambat dibandingkan terhadap tetrasiklin.
3)        Farmakokinetik :
 Pemberian oral kloramfenikol diabsorpsi dengan cepat. Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 2 jam. Kloramfenikol palmitat atau stearat dihidrolisis menjadi kloramfenikol oleh lipase pancreas dalam duodenum. Ketersediaan hayati kloramfenikol lebih besar dari pada bentuk esternya, karena hidrolisis esternya tidak sempurna. Untuk pemakaian parenteral digunakan kloramfenikol  suksinat yang akan dihidrolisis di jaringan menjadi kloramfenikol. Pemberian intramuscular sulit diabsorpsi shg tidak dianjurkan. Pemberian intravena kadar maksimum kloramfenikol aktif sama seperti pada pemberian oral.
4)        Distribusi :
Distribusinya luas termasuk ke jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. Kloramfenikol ditemukan dalam empedu, ASI dan melewati sawar placenta.
5)        Ekskresi :
 Kloramfenikol dan metabolitnya diekskresi melalui urin dengan cara filtrasi glomerulus dan sekresi. Dalam waktu 24 jam 75-90% dosis oral diekskresi dalam bentuk metabolit dan 5-10% dalam bentuk asal. Waktu paruh pada orang dewasa kira-kira 4 jam. Pada pasien yang mengalami gangguan hati waktu paruh lebih panjang menjadi 5-6 jam karena metabolismenya terlambat. Pada pasien gagal ginjal waktu paruh koramfenikol tidak berubah tetapi metabolitnya mengalami akumulasi

6)       Efek samping dan toksisitas
a)      Reaksi hipersensitivitas.
Walaupun relatif jarang dapat timbul pemerahan kulit, angioudema, urtikaria, anafilaksis dan demam.
b)      Reaksi hematologik.
Reaksi toksik utama adala depresi sumsum tulang, sehingga terjadi kelainan darah, anemia. Kelainan ini tergantung pada dosis, bila obat dihentikan maka kelainan akan sembuh. Pengaruh genetik tidak tergantung dosis, bisa terjadi anemia aplastis yang irreversibel  sehingga dapat menimbulkan kematian, walaupun sembuh dapat terjadi leukemia akut. Kloramfenikol sebaiknya tidak diberikan jika penyakit dapat disembuhkan dengan obat lain atau jika penyakit belum jelas.
c)       Gray sindroma.
Pada neonatus terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggoi (200mg/kg BB) dapat terkena gray sindroma pada hari ke 4 terapi. Gejala gray sindroma adalah:
Ø  mula-mula bayi muntah,
Ø  tidak mau menyusu,
Ø  pernafasan cepat dan tidak teratur,
Ø  perut kembung,
Ø  sianosis,
Ø  feses berwarna hijau dan diare,
Ø  selanjutnya bayi lemas dan berwarna abu-abu.
Ø  hipotermia, 40% kasus terjadi kematian.
  Efek toksik ini terjadi karena:
·         Sistem metabolisme yaitu konjugasi melalui enzim glukuronil transferase belum sempurna.
·         Kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal.
·         Bayi kurang dari 1 bulan dosisnya tidak boleh dari 25 mg/kg BB sehari. Bayi lebih dari 1 bulan 50 mg/kg BB sehari.
Reaksi neurologic : -depresi, bingung, delirium dan sakit   
                                 kepala.
Efek biologik lain:  dapat mengubah mikroflora normal.
7)      Indikasi :
Demam tifoid.
          Kloramfenikol masih merupakan obat terpilih untuk demam tifoid dan infeksi salmonella lain.
            Ampisilin dan amoksisilin juga efektif untuk demam tifoid.
          Galur yang sudah resisten digunakan kombinasi trimetiprim-sulfametoksazol (kotrimoksazol).
          Dosis kloramfenikol 4 kali 500 mg selama 2-3 minggu.8

Kloramfenikol yang telah digunakan selama kira-kira 20 tahun mempunyai pengaruh besar pada perjalanan penyakit demam typhoid. Antimikroba ini menurunkan angka mortalitas dari 20% menjadi 1%, dan lamanya demam dari 14-18 hari menjadi 3-5 hari. Demam typhoid harus diobati dengan kloramfenikol dosis 50 mg/Kgbb/hari secara intravena atau oral selama 2 minggu atau 50-75 mg/kgbb/hari pada anak-anak dan 3-4 gram/hari pada dewasa secara oral selama 2 minggu dan dosis dapat diturunkan menjai/di 2 gr/hari atau 30 mg/kgbb/hari bila penderita bebas panas.
Kasus demam typhoid yang disebabkan strain S.typhi yang rsisten terhadap kloramfenikol dilaporkam secara sporadis pada beberapa negara, tetapi epidemi pertama strain yang resisten dengan perantaraan plasmid dilaporkan di Meksiko pada tahun 1972. Strain ini resisten terhadap kloramfenikol, streptomisin, silfonamida dan tetrasiklin. Strain lain dari s. Typhi yang resisten kloramfenikol dengan pola resistensi yang sama, tetapi termasuk tipe faga yang berbeda, dilaporkan kemudian di India, Vietnam, Thailand, dan Peru.  Meskipun 30-80% isolat di negara-negara sepeerti Peru dan Vietnam adalah resisten terhadap kloramfenikol, strain yang resisten tetap jarang ditemukan di Chili dan Thailand (kurang dari 1%). Pada penelitian selama 6 bulan di Quetta Pakistan dari 62 pasien demam typhoid dilaporkan 48 (77%) telah resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksasol.
Di Indonesia, S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol jarang dijumpai. Punjabi. Dkk melaporkan 3 strain resisten terhadap kloramfenikol dari 170 isolat S.typhi (1,8%). Mohario dkk melaporkan di Jakarta pada tahun 1986 strain yang resisten adalah 16,7% . Wahyono melaporkan 3,5 srain yag resisten di Semarang pada tahun 1992. Sedangkan di Bio Farma Bandung dan RSAB Harapan Kita menunjukkan 100% sensitif terhadap kloramfenikol. Di Laboratorium Mikrobiologi FKUI 1992 dari pemeriksaan kepekaan kuman didapatkan hasil isolat S.typhi yang masih sensitif terhadap kloramfenikol adalah 95, 73%.
Disamping adanya resistensi terhadap obat antimikroba, tingginya rata-rata carier S.typhi yang kronis, toksisitas kloramfenikol terhadap sumsum tulang  (meskipun jarang dijumpai anemia aplastik , tetapi dapat bersifat fatal dan lebih sering setelah penggunaan kloramfenikol) dan tingginya angka kematian di negara berkembang, maka kesemua hal ini menjadikan kloramfenikol sekarang tidak lagi menjadi obat yang ideal untuk demam typhoid. Selain itu sekaliun diberikan secara oral selama 2 minggu dengan dosis yang tepat, masih terdapat angka kekambuhan yang bermakna besar 10-25%. Bila terjadi wabah sebaiknya digunakan amiksisilin dan kotrimoksasol sebagai pengobatan alternatif untuk demam typhoid. 6



b.      Ampisilin dan Amoksisilin
1)      Sifat Kimia
Penisilin terdiri dari cincin berupa inti siklik pada gugus amida dan dapat diikat berbagai radikal dan diperoleh berbagai jenis penisilin. Dalam suasana basa atau pengaruh enzim penisilinase inti β laktam terbuka sehingga penisilin terurai menjadi asam penisiloat. Pengaruh amidase terurai menjadi asam 6-amino penisilinat.
2)      Mekanisme Kerja
Antibiotika β laktam I bekerja dengan cara menghambat  sintesis dinding sel mikroba. Efek bakterisida ditujukan pada mikroba yang sedang aktif membelah. Pada waktu pembelahan sel sebagian dari dinding sel induk dilisis oleh enzim asetil muramidase. Enzim transpeptidase yang diperlukan untuk pembentukan dinding sel baru diblokir oleh penisilin sehingga pembentukan dinding sel tidak sempurna sehingga bakteri mati.
3)      Farmakokinetik
a)      Absorbsi
Penisilin G tidak tahan terhadap suasana asam (pH 2). Cairan lambung (pH 4) tidak terlalu merusak. Garam Na Penisilin G oral diabsorpsi di duodenum. Adanya makanan akan menghambat absorpsi. Kadar maksimal dalam darah tercapai dalam 30-60 menit. Pemberian i.m kadar maksimal dalam darah 15-30 menit. Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan di bagian atas saluran cerna sehingga tidak sempat diabsorpsi. Ampisilin absorpsinya tergantung ada tidaknya makanan. Adanya makanan dalam saluran cerna menghambat absorpsi. Amoksisilin absorpsinya di saluran cerna jauh lebih baik dari pada ampisilin. Waktu paruhnya sama. Karbenisilin tidak diabsorpsi di saluran cerna
b)        Distribusi
Penisilin G diistribusi luas dalam tubuh, jumlah yang besar terdapat dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, cairan serebrospinal sukar dicapai. Ampisilin didistribusi secara luas dalam tubuh. Penetrasi pada SSP efektif bila ada radang meningen. Pada bronchitis dan pneumonia ampisilin disekresi melalui sputum 10% dari kadar di serum.  Bila diberikan sesaat sebelum persalinan kadar dalam fetus sama dengan kadar darah ibu. Pada bayi premature dan neonatus kadar dalam darah lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah. Amoksisilin dan karbenisilin distribusinya sama dengan ampisilin.
c)         Efek Samping
Reaksi alergi sering ditimbulkan oleh pemberian penisilin khususnya penisilin G. Bisa terjadi anemia hemolitik, gangguan fungsi hati dapat berkembang menjadi hepatitis. Efek samping lain berupa gangguan mulut (lidah seperti ditumbuhi jamur), diare ringan, mual, muntah kadang-kadang kelemahan dan pengurangan bobot badan. Efek toksik penisilin terhadap SSP dapat menimbulkan epilepsi karena pemberian penisilin intra vena dosis tinggi. Ampisilin, oksasilin dan karbenisilin dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.10
Aminopenisilin kurang efektif dibandingkan dengan kloramfenikol pada pengobatan penyakit akut. Obat antimikroba ini digunakan untuk mengobati kasus yang ringan atau disebabkan oleh kuma penyebab yang resisten terhadap kloramfenikol. Diberikan dengan dosis 100mg/kgbb/hari secara intra vena atau oral. Meskipun waktu untuk menurunkan demam dilaporkan lebih lambat dengan ampisilin daripada kloramfenikol, hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa diperoleh respon lebih cepat dengan amoksisilin daripada kloramfenikol.12
Pengobatan amoksisilin atau ampisilin umumnya digunakan bersamaan dengan kholesistektomi untuk pengobatan carier thypoid kronis dengan penyakit kantung empedu daripada untuk pengobatan penyakit akut. Tidak sering timbul kekambuhan. Keadaan yang paling tidak menguntungkan adalah kemungkinan resistensi terhadap obat, stran S.Typhi yang resisten terhadap ampisilin juga resisten terhadap amoksisilin dan sebaliknya. Di Indonesia, uji kepekaan isolat  S. Typhi terhadap ampisilin oleh Soemara menunjukkan 95.5 – 100% sensitif, oleh Mohaeria 98,6, oleh Soewandojo dkk dan RSAB 100%. Di laboratorium mikrobioogi FK UI. 1992 dari pemeriksaaan kepekaan kuman didapatkan hasil 100% isolat S.thypi sensitif terhadap ampisilin.9
c.       Kotrimoksazol
Kotrimoksazol terdiri dari Trimethoprim (TM) dan Sulfamethoxazole (SMZ) dengan perbandingan 80 mg dan 400 mg. Sediaannya biasanya ada bermacam-macam, diantara : pediatric tab ( TM 20 mg, SMZ 100mg) adult tab (TM 80 mg, SMZ 400 mg)forte tab (TM 160 mg, SMZ 800 mg ) syrup ( per 5 ml : TM 40 mg , SMZ 200 mg).
1)      Spektrum Antibakteri
Mikroba yang peka terhadap kombinasi antimikroba kotrimoksazol ialah: Str. Pneumoniae, C. diphteriae, dan N. meningitis, 50-59% strain S. aureus, S. epidermidis, Str. pyogenes, Str. viridans, Str. faecalis, E. coli, Pr. mirabilis, Pr. morganii, Pr. rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonella, Shigella, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Juga beberapa strain stafilokokus yang resisten terhadap Metisilin, Trimetropim atau Sulfametoksazol sendiri, dan mikroba yang peka terhadap kombinasi antimikroba ini.
Kedua antimikroba memperlihatkan interaksi sinergistik (bekerja saling menguatkan). Kombinasi antimikroba ini mungkin efektif walaupun mikroba telah resisten terhadap Sulfonamid (golongan dari Sulfametoksazol) dan agak resisten terhadap Trimetropim. Daya kerja yang sinergi akan maksimal bila mikroba peka terhadap kedua antimikroba tersebut.
2)      Mekanisme Kerja
Aktivitas kombinasi antimikroba Kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk Asam tetrahidrofolat. Sulfometoksazol menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul Asam folat dan Trimetropim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari asam dihidrofolat menjadi Tetrahidrofolat. Trimetropim menghambat enzim Dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel manusia.
Kotrimoksasol sangat efektif pada pengobatan demam typhoid. Obat antimikroba ini bersifat bakterisidal, bukan seperti kloramfenikol yang bersifat bakteriostati. Pengobatan dengan kotrimoksasol juga ada kaitannya dengan angka kekambuhan yang lebih rendah daripada kloramfenikol. Yang dikutirkan adalah timbulnya organisme yang resisten terhadap trimetropin. Sampai saat ini belum diketahui apakah sulfonamid  yang telah diketahui resisten terhadap salmonella menyebabkan resisten pula pada kotrimoksasol.
Jenis S. Typhi  yang resisten terhadap kotrimoksasol telah meningkat cepat di Asia Timur pada tahun-tahun terakhir ini. Masalah lebih adalah sebagian besar isolat S.Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol dan ampisilin juga resisten terhadap kotrimiksasol. Dosis yang diberikan adalah: trimetropin 320-640 mg/hari, dengan sulfametoksasol 1600-3200 mg/hari. Dari hasil uji kepekaan di Laboratorium Mikrobiologi FkUI  1992 didapatkan S.Typhi  97,60%  sensitif terhadap kotrimoksasol.
d.      Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefiksim adalah suatu sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral. Sefalosporin generasi ketiga sudah dikembangkan menjadi berbagai derivat antara lain  sefoperason, sefotaxime, seftasidim, seftizoxim, seftriakson, sefiksim, sefpodoksim proxetil, sefdinir, sefditoren pivoxil, seftibuten, dan moxalaktam. Sefalosporin generasi ketiga umumnya harus diberikan secara perenteral, hanya beberapa saja yang dapat diberikan peroral, yaitu sefiksim,sefdinir dan seftibuten.
1)      Spektrum Antibakteri
In vitro, Obat ini stabil terhadap berbagai jenis betalaktamase dan mempunyai spektrum antibakteri menyerupai spektrum sefotaksim. Obat ini terutama aktif terhadap bakteria Gram-negatif aerobik tidak aktif terhadap S aureus, enterokokus (E faecalis), pneumokokus yang resisten terhadap penisilin, dan juga terhadap pseudomonas spp, L monocytogenes, Acinetobacter dan B fragfilis. Terhadap N gonorrhoeae aktivitas cefiksim sangat baik dengan KHM ≤0.001 – 0.063 mg/L. Umumnya sefiksim aktif terhadap bakteria anaerob,seperti Peptostretococcus magnus, Bacteroides distasonis, Peptostreptococcus spp, Lactobacillus spp dan Veillonella spp,tapi tidak aktif terhadap B fragilis Terhadap S typhi yang sudah resisten dengan ampisilin dan derivat kuinolon (MDR=multi drug resistant), sefiksim terbukti masih aktif.
2)       Mekanisme Kerja
Secara umum mekanisme kerja sefiksim sama dengan derivat sefalosporin lainnya, yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sefiksim mempunyai afinitas kuat dengan penicillin-binding proteins (PBP) 3, 1a dan 1b. Aktivitas obat ini dalam melisis kuman berlangsung cepat ( rapid lytic action), hal ini dihubungkan dengan afinitasnya terhadap PBP-1b. Afinitas sefiksim terhadap PBP 2 sangat lemah, dan ini menyebabkan obat ini tidak aktif terhadap S aureus dan coagulase-negative staphylococci.
3)      Farmakokinetik
Absorpsi sefiksim melalui oral berjalan lambat dan tidak lengkap. Bioavailabilitas absolut sekitar 40% sampai 50% saja. Dalam bentuk suspensi obat ini diabsorpsi lebih baik dari bentuk tablet makanan tidak mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi. Kadar tinggi terdapat pada empedu dan urin. Sefiksim diekskresi terutama melalui ginjal, 50% dari jumlah yang diabsorpsi dieskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal dalam waktu 24 jam, . Ekskresi melalui empedu sekitar 10% dari dosis. Obat ini dimetabolisme dihati. Waktu paruh eliminasi dalam serum antara 3-4 jam, dapat memanjang pada kelainan fungsi ginjal. Obat ini tidak bisa dikeluarkan dari tubuh dengan hemodialisis ataupun dengan dialisis peritoneal.
4)      Interaksi Obat
Pemberian beberapa obat tertentu bersama dengan sefiksim dapat timbul interaksi. Karbamasepin. Pemberian bersama dengan sefeksim dapat menyebabkan peningkatan kadar karbamasepin dalam darah,sehingga perlu pengamatan terhadap efek toksik karbamasepin dan mempertimbangkan kemungkinan dilakukan penyesuaian dosis obat ini. Pemberian bersama sefiksim dapat menyebabkan perpanjangan waktru protrombin (prothrobin time), tanpa atau dengan gejala perdarahan.7
Sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim, dan sefoperason) adalah obat antimikroba yang diberikan secara parenteral dan dapat digunakan untuk mengobati demam typhoid. Efek obat ini terhadap S.Typhi, bila diberikan secara intra vena atau intra muskular, sama seperti kloramfenikol pada beberapa penelitian. Meskipun bakteremia lebih cepat diatasi dengan seftriakson namun waktu untuk menurunkan panas lebih cepat dengan kloramfenikol.
Kebanyakan penelitian dengan menggunakan sefalosporin generasi ketiga pada infeksi salmonella memberikan obat untuk 10-14 hari. Pada penelitian skala kecil, seftriakson ternyata lebih efektif bila diberikan hanya 2-3 hari, meskipun angka kekambuhan pada pengobatan jangka pendek tidak selalu dapat diukur. Tidak seperti kuinolon, seftriakson dapat digunakan pada anak-anak dan wanita hamil. Dosis yang dianjurkan untuk 7 hari pengobatan dengan seftriakson dapat diturunkan menjadi 3 hari dengan pemberian 3-4g sekali sehari pada orang dewasa atau 80 mg/kgbb sekali sehari selama 5 hari pada anak-anak tanpa kehilangan efek penyembuhann. Ternyata untuk organisme yang resisten terhadap beberapa obat antimikroba, suntikan sefalosporin generasi ketiga (terutama seftriakson, waktu paruh lebih lama, angka kekambuhan lebih rendah dibanding sefalosporin lain), nampaknya menjadi pilihan untuk anak-anak , Bhutta dkk menganjurkan pemberian sefiksim secara oral yang mungkin sama efektifnya dengan seftriakson yang diberikan secara parenteral untuk demam tifoid pada anak-anak.11
e.      Kuinolon
1)        Mekanisme Kerja
Pada saat perkembangbiakkan kuman ada yang namanya replikasi dan transkripsi dimana terjadi pemisahan double helix dari DNA kuman menjadi 2 utas DNA. Pemisahan ini akan selalu menyebabkan puntiran berlebihan pada double helix DNA sebelum titik pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA girase. Peranan antibiotika golongan Kuinolon & Flurokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal, sehingga kuman mati.
2)      Spektrum Antibakteri
Kuinolon aktif terhadap beberapa kuman Gram-Negatif antara lain : E. Coli, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Kuinolon ini bekerja dengan menghambat subunit A dari Enzim DNA graise Kuman, Akibatnya reflikasi DNA terhenti. Flurokuinolon lama (Siproflaksin, Ofoflaksin, Norfloksasin) mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. Coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H. Influenzae, Providencia, Serratia, Salmonelle, N. Meningitis, n. Gonorrhoeae, B. Catarrhalis dan Yersinia Entericolitia, tetapi terhadap kuman Gram-Fositif daya antibakteinya kurang baik. Flurokuinolon Baru ( Moksifloksasin, Levloksasin ) mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram Positif dan kuman Gram-Negatif, serta kuman atipik (Mycoplasma, chlamdya), Uji klinik menunjukan bahwa flurikuinolon baru ini efektif untuk bakterial bronkitis kronis.
3)        Resistensi
Resistensi terhadap kuinolon dapat trejadi melalui 3 Mekanisme, yaitu :
·         Mutasi Gen gyr A yang menyababkan subunit A dari DNA graise kuman berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi.
·         Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat kedalam sel.
·         Peningkatan Mekanisme Pemompaan obat keluar sel (efflux).
4)      Farmakokinetik
Asam Nalidiksat  diserap baik melalui saluran cerna tetapi dengan cepat dieksresikan melalui Ginjal. Flurokinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan dengan asam nalidiksat. Pefloksasin adalah Flurokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paruh eliminasinya paling panjang. Bioavailabilitasnya pada pemberian peroral sama dengan pemberian parenteral. Penyerapan Siproflaksin dan Flurokiunolon lainnya akan terhambat bila diberikan bersama Antasida. Sifat Flurokuinolon yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam prostat, dan cairan serebrospinalis bila ada meningitis, sifat lainnya yang menguntungkan adalah masa paruh eliminasinya panjang  sehingga obat cukup diberikan 2 kali dalam sehari.8
Obat antimikroba kuinolon mungkin merupakan pilihan pengobatan saat ini untuk demam typhoid pada orang dewasa dan harus digunakan sebagai pengobatan awal pada penderita yang terkena penyakit di India atau Timur Tengah, dimana berbagai strain telah dilaporkan resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksasol. Kuinolon sangat efektif terhadap spesies Salmonella in vitro, penetrasinya sangat baik ke dalam makrofag, dan mencapai konsentrasi tinggi dalam rongga usus dan empedu. Obat antimikroba ini dapat mengurangi carrier kronis dan angka kekambuhan.
Siprofloksasin telah digunakan secara efektif dengan dosis oral 500 mg 2 kali sehari selama 10-14 hari pada penderit dengan demam typhoid yang resisten terhadap beberapa obat antimikroba. Kuinolon lain termasuk norfloksasin, ofloksasin, dan fleroksasin ternyata efektif pada percobaan klinik. Kuinolon tidak dapat digunakan rutin pada anak-anak karena dapat menimbulkan kerusakan tulang pada binatang percobaan dan juga pada wanita hamil.9
H.      Komplikasi
a.       Komplikasi intestinal
1)      Perdarahan usus
2)      Perporasi usus
3)       Ilius paralitik
b.      Komplikasi extra intestinal
1)      Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2)      Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3)      Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4)       Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5)      Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6)      Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7)      Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.11
I.        Prognosis
Prognosis baik bila diagnosa cepat ditegakkan dan pemberian antibiotik yang sesuai. Faktor lainnya adalah keadaan umum dan nutrisi yang baik, dan tidak adanya komplikasi. Bila tanpa komplikasi, maka penyembuhan secara bertahap terjadi dalam 2-4 minggu. Pada anak dengan keadaan malnutrisi dan terinfeksi dengan strain multidrug resisten, maka prognosisnya menjadi jelek. Begitu juga bila disertai komplikasi seperti meningitis.9
J.        Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan pedas.10


DAFTAR PUSTAKA
1.      Harjono H. Problem Demam Tifoid di Indonesia dan Khususnya di Jakarta. Dalam Simposium Demam Tifoid ; Jakarta,1980 : 1-10.
2.      Hadinegoro SR. Masalah Multi Drug Resistence pada Demam Tifoid Anak. Cermin Dunia Kedokteran 1999; 124 : 5-10.
3.      Hidayati. 2011. Perkembagan Terkii Terapi Demam Typoid.  www. Jurnalmedika.com diakses tanggal
4.      Wheleer, David T. 2001. Typoid Fever. www.Emedicine.Com   diakses 23 Januari 2013
5.      World Health Organization. 2003. Backgroud Document : The Diagnosis, Treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization : Geneva.
6.      Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8.
7.      Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
8.      Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
9.      Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.
10.  Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
11.  Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
12.  Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998; 23:4-7.