Cari Blog Ini

16/10/12

PNEUMOTORAKS




PENDAHULUAN
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura, yaitu rongga di antara pleura parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara dan memiliki tekanan negatif sebesar - 11 sampai - 12 cm air pada
waktu inspirasi dan - 4 sampai - 8 cm air pada saat ekspirasi (1,2).
Pada penumotoraks, oleh karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga pleura meningkat menjadi lebih positif dari tekanan normal dan bahkan dapat melebihi tekanan atmosfir (2,3). Akibat peningkatan tekanan di dalam rongga pleura, jaringan paru akan mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan, pengembangan jaringan paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua isinya terdorong ke arah sisi sehat dengan segala akibatnya (1).
Pneumotoraks merupakan suatu kegawatan medik yang membutuhkan pengenalan dini dan penanganan secepatnya.

PENGGOLONGAN PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks dapat dikelompokkan berdasarkan atas lokasi, kejadian, derajat pengempisan paru yang terkena dan jenis fistel yang terjadi. Menurut lokasi, pneumotoraks dibedakan dalam pnemotoraks parietalis, mediastinalis dan basalis. Berdasarkan kejadiannya, pneumotoraks digolongkan ke dalam pneumotoraks spontan, artifisial dan traumatika. Sesuai dengan derajat pengempisan jaringan paru, pneumotoraks dapat dibagi atas pneumotoraks totalis dan parsialis. Sementara menuju jenis fistel yang terbentuk, pneumotoraks dikelompokkan menjadi pneumotoraks terbuka, tertutup dan ventil (1,3,4).
Penggolongan yang banyak berkaitan dengan manifestasi klinik dan penanganan adalah menurut jenis fistel yang ada. Pada kasus pneumotoraks terbuka, udara bebas keluar masuk rongga pleura karena terdapat hubungan langsung yang terbuka antara bronkus atau udara luar dengan rongga pleura; tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan atmosfir. Pada pneumotoraks tertutup sudah tidak terdapat aliran udara antara rongga pleura dengan bronkus atau dunia luar karena fistel sudah tertutup; tekanan rongga pleura dapat sama, lebih tinggi atau lebih rendah dan tekanan atmosfir. Sedangkan pada pneumotoraks ventil, udara dan bronkus atau dunia luar dapat masuk ke dalam rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi karena terdapat fistel yang bersifat sebagai katup. Makin lama volume dan tekanan udara di dalam rongga pleura makin tinggi akibat penumpukan udara di dalam rongga pleura (1,2,3). Jenis fistel dapat berubah dan waktu ke waktu; pneumotoraks terbuka dapat secara mendadak berubah menjadi pneumotoraks tertutup atau bahkan pneumotoraks ventil, demikian sebaliknya (3,4).

PENYEBAB DAN KEKERAPAN PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor penyebabnya (pneumotoraks spontan idiopatik). Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan pneumotoraks adalah tuberkulosis paru, pneumonia, abses paru, infark paru, keganasan, asma, dan penyakit paru obstruktif menahun. Bentuk ini dikenal sebagai pneumotoraks spontan simtomatik. Pneumotoraks adakalanya dibuat secara sengaja untuk tujuan diagnostik dan terapetik (1). Adapun pneumotoraks traumatik terjadi akibat trauma tembus atau tidak tembus, dan seringkali bersifat iatrogenik akibat tindakan medik tertentu, seperti trakeostomi, intubasi endotrakea, kateterisasi vena sentralis, atau biopsi paru (1,2,4).
Insiden pneumotoraks diperkirakan sebesar 9 per 100.000 orang per tahun. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah pneumotoraks spontan, terutama dijumpai pada penderita laki-laki dengan badan kurus dan tinggi, berumur 20-40 tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5: 1, dan lebih banyak terdapat pada hemitoraks kanan, sementara pneumotoraks bilateral sebanyak 2 % dan semua pneumotoraks spontan (3,4).

DIAGNOSIS
Gejala Klinik
Keluhan utama yang diungkapkan penderita adalah nyeri dada disertai sesak nafas yang timbul secara mendadak. Batuk acapkali juga ditemukan. Rasa nyeri bersifat menusuk di daerah hemitoraks yang terserang dan bertambah berat pada saat bernafas, batuk dan bergerak. Nyeri dapat menjalar ke arah bahu, hipokondrium atau tengkuk. Rasa nyeri ini disebabkan oleh perdarahan yang terjadi akibat robekan pteura viseralis dan darah menimbulkan iritasi pada pleura viseralis (1,5,6).
Sesak nafas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang terkena dan gangguan pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami kegagalan pernafasan akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya pneumotoraks adalah asma atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada umumnya tidak produktif, terutama pada pneumotoraks spontan idiopatik. Keluhan lain yang dapat dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks (1,3,4).

Tanda Klinik
Penderita dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan syok. Dapat ditemukan hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per menit, akral dingin, serta pelebaran pembuluh darah vena leher dan dada. Tekanan dalam rongga pleura yang
tinggi dan pendorongan mediastinum beserta isinya ke arah sisi yang sehat akan mengganggu aliran balik darah vena ke dalam jantung, sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan syok kardial. Perlu diingat bahwa syok juga dapat disebabkan oleh perdarahan masif di dalam rongga pleura (2,3,5).
Pada inspeksi tampak hemitoraks yang terkena cembung dengan ruang sela iga yang melebar dan tertinggal pada pernafasan, iktus kordis bergeser ke sisi yang sehat dan trakea juga terdorong ke sisi yang sehat. Pada palpasi didapatkan fremitus suara melemah, iktus kordis dan trakea bergeser ke sisi yang sehat. Perkusi di daerah paru yang terserang terdengar hipersonor dan diafragma terdorong ke bawah. Batas-batas jantung bergeser ke sisi yang sehat. Suara nafas pada auskultasi melemah sampai menghilang pada bagian paru yang terkena (1,4,5).

Gambaran Radiologik
Terlihat gambaran yang khas; bagian yang berisi udara akan tampak hiperlusen (lebih gelap) tanpa corakan jaringan paru. Jaringan paru yang menguncup terlihat di daerah hilus dengan garis batas yang sangat harus. Juga terlihat mediastinum beserta isinya terdorong ke sisi yang sehat. Apabila disertai darah atau cairan, maka akan tampak garis batas mendatar yang merupakan batas antara udara dan cairan (3,4,5).

Penanganan
Setelah diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawa penderita. Sebuah jarum atau Abbocath berukuran besar harus segera ditusukkan ke dalam rongga pleura pada ruang sela iga ke dua linea mideo-klavikularis untuk mengeluarkan udara dan dalam rongga pleura. Apabila ragu-ragu terhadap kebenaran diagnosis, jarum dapat dihubungkan dengan semprit. Jika memang benar, maka penghisap (piston semprit) akan terdorong atau udara di dalam rongga pleura akan mudah dihisap (3,5). Bahaya tertusuknya paru tidak perlu dihirau-kan, karena tidak berarti dibandingkan dengan hasil yang di-peroleh melalui tindakan tersebut (3).
Pangkal jarum dihubungkan dengan selang infus dan bagian ujung selang lainnya dimasukkan ke dalam botol berisi air kira-kira 2 cm di bawah permukaan air, sehingga menjadi sebuah Water Sealed Drainage (WSD) mini (1,5). Jika WSD dapat berfungsi dengan baik, maka akan terlihat keluarnya gelembung-gelembung udara ke permukaan air. Selanjutnya penderita dapat segera dikirim ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih baik serta pemeriksaan lebih lengkap untuk menemukan kemungkinan penyakit yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Semua penderita kegawatan medik ini harus dirawat di rumah sakit.
Di rumah sakit selanjutnya dilakukan pemasangan WSD, dengan sistem satu, dua atau tiga botol Pada sistem satu botol, ujung selang dan rongga pleura dimasukkan ke dalam botol yang berisi air. Jika ujung selang tidak berada di dalam air, udara dari luar dapat masuk ke dalam rongga pleura. Pada WSD sistem dua botol terdapat satu botol tambahan untuk mengumpulkan cairan yang tidak mempengaruhi botol dengan selang yang terdapat di bawah permukaan air. Sementara pada sistem tiga botol terdapat botol kontrol penghisap yang tekanannya dapat diatur sesuai dengan tekanan rongga pleura yang diinginkan (7). Keberhasilan penanganan pneumotoraks dengan WSD dipengaruhi oleh pemeliharaan WSD; ujung selang tidak jarang tergantung di atas permukaan air, sehingga udara dan luar justru mengalir masuk ke dalam rongga pleura (3).
Selang WSD dapat dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui ruang sela iga ke 2 linea mid-klavikularis atau ruang sela iga ke 7, 8 atau 9 linea aksilaris media. Setelah daerah penusukan yang terpilih dibersihkan, selanjutnya dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%. Untuk mendapatkan efek anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu sekitar 5-­10 menit. Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis dan kemudian dibuka secara tumpul dengan kiem sampai mendapatkan pleura parietalis. Pleura ditembus dengan gunting tajam yang ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda pleura parietalis telah terbuka). Selang dimasukkan ke dalam trokar dan kemudian dimasukkan bersama-sama melalui lubang pada kulit ke dalam rongga pleura. Apabila dipakai selang tanpa trokar, maka ujung selang dijepit dengan klem tumpul untuk mempermudah masuk nya selang ke dalam rongga pleura. Jika posisi selang sudah benar, kulit di sekitar selang dijahit dengan jahitan sarung guling dan sisa benang dililitkan pada selang (7,8).
Apabila setelah pemasangan WSD paru tidak dapat mengembang dengan baik, maka dapat dilakukan penghisapan secara berkala atau terus menerus. Tekanan yang biasanya digunakan berkisar antara -12 sampai -20 cm air (1,5).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan WSD adalah empiema, laserasi paru, perforasi diafragma, selang masuk ke dalam subkutan, perdarahan akibat ruptur arteri interkostalis dan edema paru akibat pengembangan paru yang mengempis secara mendadak (3,7,8).

Pencabutan WSD
Setelah paru mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara nafas dan dipastikan dengan foto toraks, maka selang WSD diklem selama 1­3 hari. Pengembangan paru secara sempurna selain dapat dilihat pada foto toraks biasanya
dapat diperkirakan jika sudah tidak terdapat undulasi lagi pada selang WSD. Apabila setelah diklem selama 1­3 hari paru tetap mengembang, maka WSD dapat dicabut. Pencabutan selang WSD dilakukan dalam keadaan ekspirasi maksimal (3,5).

Pleurodesis dan Torakotomi
Pleurodesis adalah tindakan melekatkan pleura panietalis dengan pleura viseralis untuk mencegah kekambuhan pneumotoraks. Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan bahan kimia tertentu, seperti glukosa 40% sebanyak 20 ml atau tetrasiklin HCl 500 mg dilarutkan dalam 25­50 ml garam faal. Karena tetrasiklin dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat, maka pemberian bahan ini sebaiknya didahului dengan pemberian analgesik (1,4,5).
Torakotomi adalah operasi pembukaan rongga toraks kemudian dilanjutkan dengan penjahitan fistel pada pleura. Operasi ini diindikasikan pada kasus pneumotoraks kronik, pneumotoraks yang berulang 3 kali atau lebih, pneumotoraks bilateral, serta jika pemasangan WSD mengalami kegagalan (paru tidak mengembang atau terjadi kebocoran udara yang menetap (1,4).

PROGNOSIS
Prognosis pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan dan kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua penderita dapat diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini (1,3). Sekitar separuh kasus pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang berhasil (4).

PENUTUP
Pneumotoraks merupakan suatu kegawatan medik sehingga perlu diketahui dan diatasi secara dini. Dengan penanganan yang tampaknya sederhana, banyak nyawa penderita kegawatan ini dapat diselamatkan.

KEPUSTAKAAN
1.      Koentjahja, Abiyoso, Agung S, Muktyati S. Pneumotoraks dan Penatalaksanaannya. Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat Paru, Surakarta, 3 Juli 1993; 39­45.
2.      Suwento R, Fachruddin D. Emfisema Mediastinum dan Pneumotoraks Pasca Trakeostomi. ORLI 1991; XXII (4): 103­12.
3.      PDPI Cabang Jakarta. Pneumotoraks. Kumpulan Makalah Seminar Penanggulangan Keadaan Darurat pada Paru dan Saluran Pernafasan, Surakarta, 8 November 1986; 1­15.
4.      StafferJL. Spontaneous Pneumothorax. In: SchroederAS. et al (ed). Current Medical Diagnosis and Treatment. Connecticut, USA: Appleton & Lange 1989; 189­91.
5.      Suryatenggara W. Pneumotoraks. Dalam: Yunus, F. dkk (ed). Pulnionologi Klinik. PB FKUI, 1992; 185­187.
6.      Tjandrasusilo H. Nyeri Dada. Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat Paru, Surakarta, 3 Juli 1993; 2 1­26.
7.      Syafiuddin T. Pemasangan Selang Toraks. Majalah Dokter Keluarga, 1992; 11(1): 67­70.
8.      Lubis HNU. Penatalaksanaan Efusi Pleura pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia, 1991; 14(10): 622­26.

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995 18
Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar