Cari Blog Ini

27/09/12

Waspadai Obat ini pada KEHAMILAN !!





Beberapa obat mungkin cukup aman kita konsumsi ketika mengalami sakit atau gangguan kesehatan. Namun ketika tengah hamil, beberapa obat yang tadinya aman dapat menjadi hal yang berbahaya. Penting untuk memperhatikan kandungan obat pada kemasan yang akan dikonsumsi pada masa kehamilan. Sebisa mungkin lebih baik menghindari konsumsi obat jika tidak terlalu dibutuhkan, terutama pada usia kehamilan 0-8 minggu karena ini adalah periode genting pada pertumbuhan calon janin. Namun jika Anda benar-benar membutuhkannya, sebaiknya berkonsultasilah dengan dokter Anda. Berikut diantara beberapa kandungan obat yang perlu diketahui dan kaitannya dengan kehamilan.

Pseudoefedrin

Pseudoefedrin termasuk golongan simptomimetik yang bekerja melegakan pernapasan yang  tersumbat riak lendir dengan merelaksasi otot polos bronkus oleh stimulasi syaraf simpatik atau adrenergic yang melepaskan norepinefrin endogen. Kandungan obat ini terdapat pada beberapa obat flu yang beredar di pasaran. Obat dengan kandungan pseudoefedrin sebaiknya dihindari terutama di awal-awal kehamilan karena bisa member resiko gangguan pembentukan perut bayi.

Tetracycline

Tetracycline adalah jenis antibiotic dengan spektrum luas yang sering digunakan untuk mengobati berbagai penyakit akibat bakteri yang lainnya. Obat ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan kerusakan pertumbuhan gigi bayi berupa warna hitam. Kerusakan ini tidak bisa hilang sama sekali, sampai dewasa gigi bayi akan berwarna hitam.

Retinoic Acid

Retinoic acid atau Asam Retinoat adalah bentuk asam dan bentuk aktif vitamin A (retinol). Disebut juga tretinoin. Asam retinoat banyak dipakai dalam beberapa kosmetik. Retinoic acid perlu diwaspadai karena bisa menyebabkan kecacatan pada bayi. Tapi umumnya pada obat yang diminum.

Thalidomide

Thalidomide termasuk jenis obat yang sama sekali mesti dihindari oleh ibu hamil baik dalam jumlah kecil atau besar. Hal ini karena thalidomide bisa memberi efek buruk menyebabkan bayi tidak punya tangan kaki. Jika dikonsumsi pada akhir-akhir kehamilan bisa mengakibatkan ada telinganya yang tidak tumbuh. Obat ini merupakan jenis obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.

Streptomisin

Streptomisin adalah termasuk jenis antibiotic yang biasanya ada pada beberapa obat untuk tuberkolosis (TBC). Penggunaan Streptomisin bisa berbahaya karena dapat menyebabkan bayi mengalami gangguan pendengaran.

Kabar baiknya ada beberapa obat yang tergolong aman dikonsumsi meski Anda hamil. Diantaranya semua jenis vitamin dan multivitamin. Semua obat maag dan paracetamol untuk penghilang nyeri juga cukup memberi lampu hijau. Namun paracetamol selama tidak dikombinasi dengan komposisi lain, jika dikombinasi, cermati dulu komposisi lainnya itu. Maka demi keselamatan kehamilan Anda, jelilah mencermati label obat.

Proses Farmakoterapi Skizofrenia


PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kea rah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menakannya dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu, asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.
HIPOTESIS DOPAMINE
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembag dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit tersebut : (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyakat reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama disistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine.
Bagaimanapun juga, hipotesis dopamine ini masih jauh dari sempurna. Apabila, ketidaknormalan fisiologis dopamine sepenuhnya mempengaruhi patogenesis skizofrenia, obat-obat antipsikosis akan lebih bermanfaat dalam pengobatan pasien- tetapi obat-obat tersebut tidak begitu efektif bagi kebanyakan pasien dan tidak efektif sama sekali bagi beberapa pasien. Bahkan, antagonis reseptor NMDA seperti phencyclidine pada saat diberikan kepada orang-orang yang non-psikosis, dapat menimbulkan gejala-gejala “mirip skizofrenia” daripada agonis dopamine. Adanya pengklonaan (cloning) terbaru dan karakteristik tipe multiple reseptor dopamine memungkinkan diadakannya uji langsung terhadap hipotesis dopamine yaitu mengembangkan obat-obat yang selektif terhadap tiap-tiap tipe reseptor. Antipsikosis tradisional dapat mengikat D2 50 kali lebih kuat daripada reseptor D1 atau D3. sampai sekarang, usaha utama pengembangan obat adalah untuk menemukan obat yang lebih poten dan lebih selektif dalam menyakat reseptor D2. ¬Fakta yang menunjukkan bahwa beberapa obat antipsikosis mempunyai dampak lebih sedikit terhadap reseptor D2 dan belum efekti dalam terapi untuk skizofrenia, perhatian dialihkan ke peranan reseptor dopamine yang lain dan kepada reseptor non-dopamine khusunya subtype reseptor serotonin yang dapat memediasi efek-efek sinergistik atau melindungi dari konsekuensi ekstrapiramidal dari antagonisme D2. Sebagai hasil pertimbangan ini, arah penelitian telah berubah ke focus yang lebih besar tentang komponen yang mungkin aktif bekerja pada beberapa sistem reseptor-transmitter. Harapan yang terbesar yaitu untuk menghasilkan obat-obatan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan sedikit menimbulkan efek yang tak diinginkan, khususnya toksisitas ekstrapiramidal.
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
Tipe Kimia
Sejumlah struktur kimia telah banyak dikaitkan dengan sifat-sifat obat antipsikosis. Obat-obatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa grup.
A. Derivat Phenothiazine : Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan paqda rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka.
B. Derivat Thioxantene : Kelompok obat ini terutamanya diwakili oleh thiothixene. Pada umumnya, campuran ini lebih kecil potensinya dibandingkan dengan analog phenothoazine-nya.
C. Derivat Butyrophenon : kelompok ini, dimana haloperidol paling banyak digunakan, mempunyai struktur yang sangat berbeda dari kedua kelompok pertama. Diphenylbutylpiperidine adalah senyawa yang paling erat kaitannya. Obat-obat ini cenderung lebih poten dan memiliki sedikit efek otonomis.
D. Struktur lainnya: Obat-obat terbaru, Antipsikosis Generasi II yang tidak semuanya tersedia di Amerika Serikat, memiliki beragam struktur dan mencakup pimozide, molindone, loxapine, clozapine, olanzapine, quetiapine, sertindole, dan zaiprasidone
A. Absorpsi dan Distribusi : Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35% sedangkan haloperidol, yang paling sedikit dimetabolisme tubuh mempunyai availibilitas sekitar 65%.
Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92%-99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya >7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obat-obat antipsikosis.
B. Metabolisme : Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Meskipun beberapa metabolit tetap aktif, misalnya 7-hydroxichlorpromazine dan haloperidol yang tereduksi, mereka kurang dianggap penting tehadap daya kerja obat-obat ini. Satu-satunya pengecualian adalah mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsure terpisah.
C. Eksresi : Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam
Efek-efek Farmakologis
Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5-HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian
A. Sistem Dopaminergik : Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter didalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-meokortikal, yang berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan neokorteks. Sistem yang kedua alur nigrostriatal –terdiri dari neuron-neuron yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga –sistem tuberoinfundibuler- menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron preifentrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem dopaminergik keempat- alur medulari-periventrikuler- terdiri dari neuron-neuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas. Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima –alur insertohipotalamus- membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui.
B. Reseptor Dopamine dan Efeknya : Saat ini, lima reseptor dopamine yang berbeda telah dijabarkan, terdiri dari dua famili yang terpisah, yaitu kelompok reseptor mirip D1 dan mirip D2. Reseptor D1 ditandai dengan sebuah gen pada kromosom 5, peningkatan cAMP dengan mengaktifkan adenylyl cyclase, dan berlokasi terutama diputamen, nukelus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, D2,yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, dan ditemukan di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikosis tidak berkaitan dengan afinitasnya dalam mengikat D1. Reseptor D2, yang ditandai dengan kromosom 11, diperkirakan dapat menurunkan cAMP (dengan menghambat adenylyl cyclase) dan menyakat kanal kalsium. Reseptor tersebut ditemukan, baik pada pra- maupun pascasinaps neuron-neuron di putamen kaudatus, nucleus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, reseptor D3, yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 11, diperkirakan dapat juga menurunkan cAMP, dan berlokasi di korteks frontalis, medulla, dan otak tengah. Reseptor D4, anggota terbaru famili “mirip D2” juga menurunkan cAMP. Semua reseptor dopamine mempunyai domain tujuh-transmembran dan terhubung dengan protein G.Aktifasi reseptor D2 oleh sejumlah agonis langsung dan tak langsung (misalnya levodopa amphetamine, apomorphin) enyebabkan meningkatnya aktifitas motorik dan perilaku stereotipe pada tikus, model percobaan yang telah banyak digunakan untuk skreening obat antipsikosis. Saat diberikan pada manusia, obat yang sama akan mengakibatkan skizofrenia. Obat-obat antipsikosis tersebut menyatakan reseptor D2 secara stereoselektif, pada sebagian lokasi, dan afinitas ikatannya sangat kuat, ini mempunyai korelasidengan potensi klinis antipsikosis dan ekstrapiramidal, suatu observasi memancing banyaknya studi mengenai ikatan reseptor.
Tidaklah mungkin untuk menunjukkan bahwa antagonis reseptor dopamine selain reseptor D2 mempunyai peranaan terhadap obat-obat antipsikosis. Antagonis reseptor D3 yang selektif masih belum tersedia. Sedangkan antagonis reseptor D1 yang spesifik telah dikembangkan, dan setidaknya hanya 1 yang terbukti gagal dalam percobaan klinis. Usaha-usaha untuk menemukan efek antagonisme D4 selama ini menemukan jalan buntu. Partisipasi glutamate, GABA, dan reseptor achetilcolin didalam patofisiologi skizofrenia juga telah dilaporkan. Obat- obat yang menjadi target didalam sistem glutamatergic dan colinergic baru merupakan awal untuk dievaluasi didalam skizofrenia
C. Perbedaan diantara obat-obat antipsikosis.
Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat α-1-adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Obat-obat seperti perpenazine dan haluperidol bekerja lebih banyak pada reseptor D2; dan memeberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor α-1, tetapi tak begitu berpengaruh terhadap reseptor D1. pimozide bekerja secara ekslusif pada resptor D2. clozapine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, α-1, dan reseptor histamine H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan hampir sama pada reseptor D1,D2,dan α-1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan α-1. Kesimpulan yang sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine α1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > α1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D1, tersebut plaing sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem mesolimbik ( untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat- seperti pada asetlkolin dan asam amino eksitatorik- yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat antipsikosis.
D. Efek-efek psikologis:
Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan.
E. Efek-efek neurofisiologis:
Obat-obat antipsikosis mengakibatkan pergeseran pola frekuensi elektroensefalografi, biasanya menurunkan frekuensi dan meningkatkan sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih
Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya.
F. Efek-Efek endokrin
Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore –galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali pada produksi prolaktin sesudah pemberian sejumlah antipsikosis terbaru seperti : olanzapine, guethiapine, dan sertindole, bisa menjadi tanda berkurangnya antagonisme D2 wsehingga mengurangi resiko disfungsi sistem ekstrapiramidal dan diskinesia tardiff, serta disfungsi endokrin.
G. Efek-efek kardiovaskuler
Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine(potensi rendah)kemudian ” dosis tinggi”. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut.
Diantara obat-obat antipsikosis terbaru, perpanjangan interval QT atau QTC- dengan peningkatan resiko aritmia yang berbahaya- sudah begitu mengkhawatirkan sen=hingga ssertindole merupakan obat pertama yang ditarik dari pasaran menunggu evaluasi selanjutnya. Sedangkan ziprasidone masih dipelajari lebih lanjut sebelum diambil keputusan yang final. Untuk mengesampingkan bermakna klinis QTc.
FARMAKOLOGI KLINIK OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
A. Cara Penggunaan
Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejla dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll.sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,dan haloperidol yang memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.
Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 – 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari
Obat antipsikosis long acting (flufenazine decanoat, 25mg/mL atau haloperidol decanoat, 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu) sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan.
Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit.
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane ®) 3-4 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM.
B. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek sampng) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari).
• Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan ”dosis awal” sesuai dengan ”dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari  sampai mencapai ”dosis efektif”(mulai timbul peredaran sindrompsikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  ”dosis optimal”  dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  ”dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan – 2 tahun (diselingi ”drug holiday” 1-2 hari/minggu)  Tappering off (dosis diturunkan setiap 2-4 minggu)  Stop.
C. Lama pemberian
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang “multi episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “psikosis reaktif singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul “ kolinergik rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “ antikolinergic agent” (injeksi sulfas atropin 0,25mg IM), tablet trihexylphenidil (3x2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson.
D. Pemakaian khusus
Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine disistem limbik daripada disistem ekstrapiramidal pada SSP (sebalinkya dari haluperidol)
Haluperidol dosis kecil untuk “Gilles de la tourette’s syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2-15 tahun. Terdapat gerakan-gerakn involunter, berulang, cepat, dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics fokal yang multipel (misalnya, suara klik, dengusan, batuk, menggeram, menyalak, atau kata-kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar ). Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi.
Butir-butir diagnostik SNM :
a. Suhu badan >380C (hiperpireksia)
b. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)
c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urine)
d. Perubahan status mental
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.
Pengobatan :
a. Hentikan segera obat antipsikosis
b. Perawatan supportif
c. Obat dopamin agonis ( bromokriptin 7,5 – 60 mg/hari 3dd1, L-dopa 2 x 100 mg/hari atau amantadine 200 mg/hari)
Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi orthostatik) dan sedasinya yaitu golongan ”high potency neuroleptic”, misalnya haloperidol, trifluoperazine, flufenazine, antipsikosis atipikal.
Penggunaan pada wanita hamil, beresiko tinggi anak yang dilahirkan penderita gangguan saraf ekstrapiramidal.

OBAT & KEHAMILAN


     Sikap berhati-hati menggunakan obat perlu dimiliki wanita hamil. Sikap itu didasari kenyataan terpengaruhnya calon bayi bila wanita hamil menggunakan obat yang sebagian besar merupakan bahan kimia itu. Namun sikap ini jangan pula dilanjuti ketakutan menggunakan obat. Kalau memang diperlukan, obat akan jauh bermanfaat.
Masa kehamilan dibagi dalam 3 tahap. Tahap pertama disebut trisemester pertama kehamilan (tiga bulan pertama masa kehamilan). Tahap ini merupakan tahap paling kritis karena pada tahap ini berlangsung proses pembentukan organ-organ penting bayi. Dalam tahap ini janin sangat peka terhadap kemungkinan kerusakan yang disebabkan obat, radiasi dan/ atau infeksi yang menyerang. Penyebab kerusakan terhadap calon bayi tersebut disebut teratogen. Pemberian obat-obat tertentu boleh jadi akan memberikan kecacatan lahir.
Pada tahap ini hindarilah pemakaian obat yang tidak perlu dan tidak diketahui keamanannya.Tahap selanjutnya adalah trimester kedua kehamilan (bulan keempat sampai dengan bulan keenam masa kehamilan). Organ bayi sudah terbentuk. Denyut jantung sudah dapat didengar dan tulang belakang sudah dapat terlihat dengan peralatan radiologi. Beberapa obat boleh jadi akan mempengaruhi perkembangan si janin, yang dimanesfetasikan dengan rendahnya berat badan bayi ketika dilahirkan.Tahap terakhir adalah trisemester ketiga kehamilan (bulan ketujuh hingga bayi dilahirkan). Pada tahap ini resiko terbesar adalah kesulitan bernafas pada bayi baru lahir. Beberapa obat dapat mempengaruhi persalinan yang dimanesfetasikan bayi lahir prematur maupun calon bayi lebih lama dalam kandungan. Untuk memetakan obat mana yang aman bagi wanita hamil saat ini mengacu kepada percobaan-percobaan terhadap binatang, dan pengamatan terhadap penggunaan obat ketika diedarkan. Percobaan yang sangat luas terhadap wanita hamil bagi obat baru yang akan diedarkan memang tidak ada dan tidak akan pernah ada mengingat tidak etis menggunakan wanita hamil sebagai obyek penelitian. Sebagai rujukan yang paling dipercaya kalangan medis untuk sesuatu obat itu aman atau tidak untuk wanita hamil adalah Pedoman yang disusun US FDA (Badan POM Amerika Serikat).
FDA membagi tingkat keaman obat tersebut kedalam 5 kategori:

Kategori A:

Studi terkontrol pada wanita tidak memperlihatkan adanya resiko bagi janin pada trisemester pertama kehamilan. Dan tidak ada bukti mengenai resiko pada trisemester ke dua dan ketiga. Kemungkinan adanya bahaya terhadap janin sangat rendah.

Kategori B:

Studi terhadap reproduksi binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya resiko terhadap janin tetapi belum ada studi terkontrol pada ibu hamil atau sistem reproduksi binatang percobaan yang menunjukkan efek samping ( selain penurunan tingkat kesuburan), yang juga tidak diperoleh pada studi terkontrol pada trisemester 1 dan tidak terdapat bukti adanya resiko pada trisemester selanjutnya.

Kategori C:

Studi pada binatang percobaan menunjukkan adanya efek samping pada janin (teratogenik) dan tidak ada studi terkontrol pada wanita. Atau studi pada wanita maupun binatang percobaan tidak tersedia. Obat dalam kategori ini hanya boleh diberikan kepada ibu hamil jika manfaat yang diperoleh lebih besar dari resiko yang mungkin terjadi pada janin.

Kategori D:

Terdapat bukti adanya resiko terhadap janin manusia. Obat ini hanya diberikan bila manfaat pemberian jauh lebih besar dibandingkan resiko yang akan terjadi. (terjadi situasi yang dapat mengancam jiwa ibu hamil, dalam hal mana obat lain tidak dapat digunakan/ tidak efektif).

Kategori X:

Studi pada binatang percobaan atau manusia telah memperlihatkan adanya kelainan janin (abnormalitas) atau terbukti beresiko terhadap janin. Resiko penggunaan obat pada wanita hamil jelas lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Obat kategori X merupakan kontra indikasi bagi wanita hamil atau memiliki kemungkinan untuk hamil.

Prinsip menggunakan obat kala hamil

1. Pertimbangkan mengatasi penyakit tanpa menggunakan obat, terutama pada 3 bulan pertama kehamilan.
2. Obat hanya digunakan bila manfaat yang diperoleh ibu lebih besar dibandingkan kemungkinan resiko yang bakal terjadi pada janin.
3. Apabila harus menggunakan obat, pilihlah obat yang telah dipakai secara luas selama kehamilan. Hindarilah penggunaan obat yang baru beredar karena belum cukup waktu untuk mengetahui keamanannya.
4. Hindari penggunaan obat polifarmasi – menelan berjenis-jenis obat (4 atau 5 jenis)
5. Cari tahu apakah obat yang akan digunakan aman sesuai kategori dunia pengobatan

Insisi Abses

 1. Definisi
Dalam arti umum berarti melakukan irisan pada kulit. Sedangkan dalam khusus, insisi abses berarti mengiris abses untuk mengeluarkan pus yang ada didalamnya.

2. Syarat
-     Irisan harus langsung, tidak terputus-putus langsung sampai ke jaringan subkutis
-      a. Insisi harus sesuai garis Langer
-      b. Irisan yang dekat garis persendian harus sejajar dengan aksis  / sumbu sendi
-      c. Insisi sedapat mungkin disembunyikan, misal pada abses mammae
-      d. Sterilitas harus dijaga
  e. Arah insisi tidak boleh tegak lurus dengan alat penting yang ada didaerah itu, missal arteri, vena, syaraf 

3. Alat dan Bahan
a. Minor set
b. Kassa steril
c. Sarung tangan
d.  Larutan desinfektan
e. Spuit 3 cc
d. Lidokain  / chlor etyl
e. Tampon

4. Cara Kerj
a.  Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
b. Cuci tangan
c. Inform consent
d. Siapkan alat, lakukan anastesi lokal
e. Pakai sarung tangan
f. Lakukan insisi di tempat fluktuasi yang maksimal irisan sampai fascia
g. Buka abses dengan memasukkan sumbu atau klem  ( secara tumpul ) supaya pus keluar
h. Kelurkan semua infiltrat dengan memakai sonde, pada alat yang lunak ( missal mammae ) cukup memakai jari saja.
i. Keluarkan pus dengan bersih, masukkan tampon ( lebar ± 1cm )yang telah mengandung betadine kedalam rongga abses
j. Tampon tidak boleh dimasukkan terlalu padat, kemudian disisakan sepanjang ± 5cm untuk mempermudah pengangkatan
k. Atau gunakan drain ( dari bekas sarung tangan atau pipa infus ), dimasukkan kedalam rongga abses, difiksasi dengan kulit dan ujung luar drain dipasang penampung infus
l. Ganti tampon tiap hari, sampai secret yang berwarna jernih ( biasanya 5 hari )
m. Beri salep untuk merangsang jaringan setelah tampon dikeluarkan
n. Tutup luka dengan kasa dan betadine
o. Cuci tangan

PENGGUNAAN OBAT- OBAT YANG DIGUNAKAN PADA MASA KEHAMILAN




I. PENDAHULUAN

Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta, beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak memberi pengaruh apapun. Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:

a. sifat fisikokimiawi dari obat
b. kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
c. lamanya pemaparan terhadap obat
d. bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin
e. periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
f. efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.
Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak. Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang.

II. FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN
2.1 Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan menurun.

2.2 Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium valproat terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.
2.3 Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan.

III. PENGARUH OBAT PADA JANIN
Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau biokimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut :
1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain :
- Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul
secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
- Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.
- pengaruh subletal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

III. PENGUNAAN BEBERAPA OBAT SELAMA MASA KEHAMILAN
3.1 Antibiotik dan antiseptik
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi,
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.
3.1.1 Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
- Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
- Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.

3.1.2 Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.
3.1.3 Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.

3.1.4 Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.
3.1.5 Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.

3.1.6 Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.
3.1.7 Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.

3.1.8 Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
3.1.9 Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
3.2 Analgetik
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
3.2.1 Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe. Metadon: Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari, Petidin Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.
3.2.2 Analgetika-antipiretik
Parasetamol, Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang dianjurkan.
Antalgin:, Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.
3.2.3 Antiinflamasi non-steroid
Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping yang paling ringan.

3.3 Antiemetik
Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul kongenital pada
janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.

3.4 Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalam hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selamakehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan meningkatnya angka kejadian kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi kongenital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut
selama masa kehamilannya. Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat
selama masa kehamilannya.

3.5 Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.
– Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti sedasi dan mulut kering. Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi:
1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal.
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.
3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.
5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin

V. DAFTAR PUSTAKA (Ada di Bagian Farmakologi Klinik FK-UGM)
Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy. Australian Goverment Publishing Service,
Canberra.
Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book, California.
Speight TM (1987) Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3rd
edition.ADIS press,Auckland.
Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta