Cari Blog Ini

27/09/12

Proses Farmakoterapi Skizofrenia


PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kea rah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menakannya dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu, asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus- kasus skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara psati, baik karena kejadian yang spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.
HIPOTESIS DOPAMINE
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembag dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit tersebut : (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyakat reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama disistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine.
Bagaimanapun juga, hipotesis dopamine ini masih jauh dari sempurna. Apabila, ketidaknormalan fisiologis dopamine sepenuhnya mempengaruhi patogenesis skizofrenia, obat-obat antipsikosis akan lebih bermanfaat dalam pengobatan pasien- tetapi obat-obat tersebut tidak begitu efektif bagi kebanyakan pasien dan tidak efektif sama sekali bagi beberapa pasien. Bahkan, antagonis reseptor NMDA seperti phencyclidine pada saat diberikan kepada orang-orang yang non-psikosis, dapat menimbulkan gejala-gejala “mirip skizofrenia” daripada agonis dopamine. Adanya pengklonaan (cloning) terbaru dan karakteristik tipe multiple reseptor dopamine memungkinkan diadakannya uji langsung terhadap hipotesis dopamine yaitu mengembangkan obat-obat yang selektif terhadap tiap-tiap tipe reseptor. Antipsikosis tradisional dapat mengikat D2 50 kali lebih kuat daripada reseptor D1 atau D3. sampai sekarang, usaha utama pengembangan obat adalah untuk menemukan obat yang lebih poten dan lebih selektif dalam menyakat reseptor D2. ¬Fakta yang menunjukkan bahwa beberapa obat antipsikosis mempunyai dampak lebih sedikit terhadap reseptor D2 dan belum efekti dalam terapi untuk skizofrenia, perhatian dialihkan ke peranan reseptor dopamine yang lain dan kepada reseptor non-dopamine khusunya subtype reseptor serotonin yang dapat memediasi efek-efek sinergistik atau melindungi dari konsekuensi ekstrapiramidal dari antagonisme D2. Sebagai hasil pertimbangan ini, arah penelitian telah berubah ke focus yang lebih besar tentang komponen yang mungkin aktif bekerja pada beberapa sistem reseptor-transmitter. Harapan yang terbesar yaitu untuk menghasilkan obat-obatan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan sedikit menimbulkan efek yang tak diinginkan, khususnya toksisitas ekstrapiramidal.
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
Tipe Kimia
Sejumlah struktur kimia telah banyak dikaitkan dengan sifat-sifat obat antipsikosis. Obat-obatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa grup.
A. Derivat Phenothiazine : Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan paqda rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka.
B. Derivat Thioxantene : Kelompok obat ini terutamanya diwakili oleh thiothixene. Pada umumnya, campuran ini lebih kecil potensinya dibandingkan dengan analog phenothoazine-nya.
C. Derivat Butyrophenon : kelompok ini, dimana haloperidol paling banyak digunakan, mempunyai struktur yang sangat berbeda dari kedua kelompok pertama. Diphenylbutylpiperidine adalah senyawa yang paling erat kaitannya. Obat-obat ini cenderung lebih poten dan memiliki sedikit efek otonomis.
D. Struktur lainnya: Obat-obat terbaru, Antipsikosis Generasi II yang tidak semuanya tersedia di Amerika Serikat, memiliki beragam struktur dan mencakup pimozide, molindone, loxapine, clozapine, olanzapine, quetiapine, sertindole, dan zaiprasidone
A. Absorpsi dan Distribusi : Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35% sedangkan haloperidol, yang paling sedikit dimetabolisme tubuh mempunyai availibilitas sekitar 65%.
Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92%-99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya >7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obat-obat antipsikosis.
B. Metabolisme : Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Meskipun beberapa metabolit tetap aktif, misalnya 7-hydroxichlorpromazine dan haloperidol yang tereduksi, mereka kurang dianggap penting tehadap daya kerja obat-obat ini. Satu-satunya pengecualian adalah mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsure terpisah.
C. Eksresi : Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam
Efek-efek Farmakologis
Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5-HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian
A. Sistem Dopaminergik : Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter didalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-meokortikal, yang berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan neokorteks. Sistem yang kedua alur nigrostriatal –terdiri dari neuron-neuron yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga –sistem tuberoinfundibuler- menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron preifentrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem dopaminergik keempat- alur medulari-periventrikuler- terdiri dari neuron-neuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas. Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima –alur insertohipotalamus- membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui.
B. Reseptor Dopamine dan Efeknya : Saat ini, lima reseptor dopamine yang berbeda telah dijabarkan, terdiri dari dua famili yang terpisah, yaitu kelompok reseptor mirip D1 dan mirip D2. Reseptor D1 ditandai dengan sebuah gen pada kromosom 5, peningkatan cAMP dengan mengaktifkan adenylyl cyclase, dan berlokasi terutama diputamen, nukelus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, D2,yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, dan ditemukan di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikosis tidak berkaitan dengan afinitasnya dalam mengikat D1. Reseptor D2, yang ditandai dengan kromosom 11, diperkirakan dapat menurunkan cAMP (dengan menghambat adenylyl cyclase) dan menyakat kanal kalsium. Reseptor tersebut ditemukan, baik pada pra- maupun pascasinaps neuron-neuron di putamen kaudatus, nucleus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, reseptor D3, yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 11, diperkirakan dapat juga menurunkan cAMP, dan berlokasi di korteks frontalis, medulla, dan otak tengah. Reseptor D4, anggota terbaru famili “mirip D2” juga menurunkan cAMP. Semua reseptor dopamine mempunyai domain tujuh-transmembran dan terhubung dengan protein G.Aktifasi reseptor D2 oleh sejumlah agonis langsung dan tak langsung (misalnya levodopa amphetamine, apomorphin) enyebabkan meningkatnya aktifitas motorik dan perilaku stereotipe pada tikus, model percobaan yang telah banyak digunakan untuk skreening obat antipsikosis. Saat diberikan pada manusia, obat yang sama akan mengakibatkan skizofrenia. Obat-obat antipsikosis tersebut menyatakan reseptor D2 secara stereoselektif, pada sebagian lokasi, dan afinitas ikatannya sangat kuat, ini mempunyai korelasidengan potensi klinis antipsikosis dan ekstrapiramidal, suatu observasi memancing banyaknya studi mengenai ikatan reseptor.
Tidaklah mungkin untuk menunjukkan bahwa antagonis reseptor dopamine selain reseptor D2 mempunyai peranaan terhadap obat-obat antipsikosis. Antagonis reseptor D3 yang selektif masih belum tersedia. Sedangkan antagonis reseptor D1 yang spesifik telah dikembangkan, dan setidaknya hanya 1 yang terbukti gagal dalam percobaan klinis. Usaha-usaha untuk menemukan efek antagonisme D4 selama ini menemukan jalan buntu. Partisipasi glutamate, GABA, dan reseptor achetilcolin didalam patofisiologi skizofrenia juga telah dilaporkan. Obat- obat yang menjadi target didalam sistem glutamatergic dan colinergic baru merupakan awal untuk dievaluasi didalam skizofrenia
C. Perbedaan diantara obat-obat antipsikosis.
Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat α-1-adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Obat-obat seperti perpenazine dan haluperidol bekerja lebih banyak pada reseptor D2; dan memeberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor α-1, tetapi tak begitu berpengaruh terhadap reseptor D1. pimozide bekerja secara ekslusif pada resptor D2. clozapine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, α-1, dan reseptor histamine H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan hampir sama pada reseptor D1,D2,dan α-1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan α-1. Kesimpulan yang sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine α1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > α1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D1, tersebut plaing sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem mesolimbik ( untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat- seperti pada asetlkolin dan asam amino eksitatorik- yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat antipsikosis.
D. Efek-efek psikologis:
Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan.
E. Efek-efek neurofisiologis:
Obat-obat antipsikosis mengakibatkan pergeseran pola frekuensi elektroensefalografi, biasanya menurunkan frekuensi dan meningkatkan sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih
Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya.
F. Efek-Efek endokrin
Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore –galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali pada produksi prolaktin sesudah pemberian sejumlah antipsikosis terbaru seperti : olanzapine, guethiapine, dan sertindole, bisa menjadi tanda berkurangnya antagonisme D2 wsehingga mengurangi resiko disfungsi sistem ekstrapiramidal dan diskinesia tardiff, serta disfungsi endokrin.
G. Efek-efek kardiovaskuler
Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine(potensi rendah)kemudian ” dosis tinggi”. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut.
Diantara obat-obat antipsikosis terbaru, perpanjangan interval QT atau QTC- dengan peningkatan resiko aritmia yang berbahaya- sudah begitu mengkhawatirkan sen=hingga ssertindole merupakan obat pertama yang ditarik dari pasaran menunggu evaluasi selanjutnya. Sedangkan ziprasidone masih dipelajari lebih lanjut sebelum diambil keputusan yang final. Untuk mengesampingkan bermakna klinis QTc.
FARMAKOLOGI KLINIK OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
A. Cara Penggunaan
Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejla dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll.sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,dan haloperidol yang memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.
Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg.Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (Mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 – 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari
Obat antipsikosis long acting (flufenazine decanoat, 25mg/mL atau haloperidol decanoat, 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu) sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan.
Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit.
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane ®) 3-4 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM.
B. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek sampng) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari).
• Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan ”dosis awal” sesuai dengan ”dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari  sampai mencapai ”dosis efektif”(mulai timbul peredaran sindrompsikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  ”dosis optimal”  dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  ”dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan – 2 tahun (diselingi ”drug holiday” 1-2 hari/minggu)  Tappering off (dosis diturunkan setiap 2-4 minggu)  Stop.
C. Lama pemberian
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang “multi episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “psikosis reaktif singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul “ kolinergik rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “ antikolinergic agent” (injeksi sulfas atropin 0,25mg IM), tablet trihexylphenidil (3x2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson.
D. Pemakaian khusus
Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine disistem limbik daripada disistem ekstrapiramidal pada SSP (sebalinkya dari haluperidol)
Haluperidol dosis kecil untuk “Gilles de la tourette’s syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2-15 tahun. Terdapat gerakan-gerakn involunter, berulang, cepat, dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics fokal yang multipel (misalnya, suara klik, dengusan, batuk, menggeram, menyalak, atau kata-kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar ). Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi.
Butir-butir diagnostik SNM :
a. Suhu badan >380C (hiperpireksia)
b. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)
c. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urine)
d. Perubahan status mental
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.
Pengobatan :
a. Hentikan segera obat antipsikosis
b. Perawatan supportif
c. Obat dopamin agonis ( bromokriptin 7,5 – 60 mg/hari 3dd1, L-dopa 2 x 100 mg/hari atau amantadine 200 mg/hari)
Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi orthostatik) dan sedasinya yaitu golongan ”high potency neuroleptic”, misalnya haloperidol, trifluoperazine, flufenazine, antipsikosis atipikal.
Penggunaan pada wanita hamil, beresiko tinggi anak yang dilahirkan penderita gangguan saraf ekstrapiramidal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar