Cari Blog Ini

24/03/12

Pitiriasis Versikolor (PV)

A.      Sinonim
Nama-nama lain dari Pitiriasis versikolor (PV) antara lain : Tinea versikolor; Dermatomycosis furfuracea, Tinea flavea, Liver spots, Chromophytosis, Panu, Panau, Pitiriasis simplek, Pitiriasis makulata, Impetigo sika, Impetigo pitiroides.
B.    Sejarah
Pada tahun 1853, Robin menamakan organisme tersebut sebagai Mycrosporum furfur karena dianggap mempunyai kemiripan dengan Mycrosporum audouinii, dan mengubah nama penyakitnya menjadi Tinea versikolor untuk menghubungkannya dengan infeksi dermatofit (ringworm) lainnya. Pada tahun 1874, Malassez menekankan kembali bentuk mirip ragi organisme tersebut dan beranggapan bahwa bentuk tersebut berbeda dengan miselium pada jamur yang telah diketahui sebelumnya. Baillon beranggapan bahwa ragi dari Pitiriasis tersebut tidak mempunyai hubungan dengan spesies Mycosporum yang menjadi penyebab ringworm. Pada tahun 1889 ia membentuk suatu genus dan menamakannya Malassezia untuk membedakannya dengan spesies Mycrosporum dari dermatofit, kemudian memasukkan Malassezia furfur sebagai organisme penyebab Pitiriasis versikolor kedalam genus tersebut. Pada tahun 1951, Morris Gordon mengisolasi, menandai ciri, dan keaslian Malasezia furfur dan menamakannya Pityrosporum orbiculare serta memasukkanya ke dalam suatu genus Pityrosporum.
C.    Etiologi
PV disebabkan oleh ragi lipofilik yang merupakan flora normal kulit yang dikenal dalam genus Malassezia, dan sebagai spesies tunggal disebut sebagai Malassezia furfur. Organisme ini merupakan bentuk filamen patogenik dari Pityrosporum orbiculare.
D.    Epidemiologi
            PV dapat  menyerang hampir semua umur, terutama usia remaja dan dewasa muda karena pada usia-usia tersebut  elenjar minyak  bekerja lebih aktif, oleh sebab itu mahasiswa yang termasuk dalam kelompok umur ini sering menderita PV. Jumlah kejadian PV pada pria dan wanita tidak banyak berbeda, dan penyakit ini bisa menyerang semua bangsa atau ras di seluruh dunia, terutama di daerah tropis   yang bersuhu hangat dan lembab.
Orang–orang yang bekerja sebagai buruh bangunan biasanya berasal dari latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah sehingga mereka kurang memperhatikan higiene pribadi. Ditambah lagi dengan lingkungan kerja bersuhu panas, serta aktivitas kerja yang tinggi sehingga membuat mereka semakin banyak berkeringat dan menyebabkan stratum korneum melunak sehingga mudah dimasuki Malassezia furfur.
E.    Cara Penularan
Sebagian besar kasus PV terjadi karena aktivasi M furfur pada tubuh penderita sendiri, sehingga M.Furfur sering disebut sebagai  “autothocus flora”, walaupun dilaporkan pula adanya penularan dari individu lain. Kondisi patogen terjadi bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu M.furfur akan berkembang ke bentuk miselial, dan bersifat lebih patogenik. Keadaan yang mempengaruhi keseimbangan antara hospes dengan ragi tersebut diduga adalah faktor lingkungan atau faktor suseptibilitas individual. Faktor lingkungan di antaranya adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembapan kulit. Sedangkan faktor individual antara lain adanya kecenderungan genetik, atau adanya penyakit yang mendasari misalnya sindrom Cushing, malnutrisi, terapi kortikosteroid dalam jangka panjang, ataupun keadaan hamil.
F.    Gejala Klinis
Manusia mendapatkan infeksi bila hifa atau spora jamur penyebab melekat pada kulit. Lesi dimulai dengan bercak kecil tipis yang kemudian menjadi banyak dan menyebar dalam beberapa bulan serta disertai adanya sisik. Lesi PV terutama dijumpai di bagian atas dada dan meluas ke lengan atas, leher, muka, tungkai. Dilaporkan adanya kasus-kasus yang khusus dimana lesi hanya dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapatkan tekanan pakaian, misalnya pada bagian yang tertutup pakaian dalam. Lesi  dapat pula dijumpai pada lipatan aksila, inguinal, atau pada kulit muka dan kepala. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, serta dahi.  Kelainan kulit pada penderita panu tampak jelas, sebab pada orang berkulit gelap  akan tampak sebagai bercak  hipopigmentasi, sedangkan pada orang yang berkulit putih tampak sebagai bercak hiperpigmentasi. Dengan demikian warna kelainan kulit ini dapat bermacam-macam sehingga dinamakan Pitiriasis versikolor (versikolor = bermacam-macam warna). Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus. Pada beberapa lokasi yang selalu lembab, misalnya pada daerah dada, kadang batas lesi dan skuama menjadi tidak jelas.  Bentuk makuler umumnya khas berupa bercak-bercak yang agak lebar dengan skuama halus di atasnya dan tepi tidak meninggi. Bentuk folikuler seperti tetesan air dan sering timbul di sekitar folikel rambut. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia mengidap PV. Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan yang merupakan alasan berobat. Pseudoakromia akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.
Untuk menunjukkan adanya skuamasi secara sederhana dapat dilakukan garukan dengan kuku (finger nail sign), akan tampak batasan yang jelas antara lesi dengan kulit normal. Hipopigmentasi pada lesi kemungkinan disebabkan oleh asam dekarboksilat yang diproduksi oleh M.furfur yang bersifat sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanosit, sedang lesi hiperpigmentasi yang terjadi belum dapat dijelaskan. PV sering menghinggapi orang selama bertahun-tahun karena dua alasan, yaitu : pengobatannya tidak adekuat, atau,  merupakan  infeksi ulang dari infeksi yang sebelumnya.     Pada kasus yang lama tanpa pengobatan lesi dapat bergabung membentuk gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Beberapa kasus di daerah berhawa dingin dapat sembuh spontan. Pada sebagian besar kasus, pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang akan menetap hingga beberapa bulan tanpa adanya skuama.
G.   Diagnosis 
Diagnosa ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi lesi kulit dengan lampu Wood’s, dan sediaan langsung. Gambaran klinis PV berupa adanya makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atau kemerahan, yang berbatas sangat tegas dan tertutup skuama halus. Pemeriksaan dengan lampu Wood akan memberi perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi menunjukkan adanya pendaran / fluoresensi berwarna emas sampai oranye pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopis sediaan skuama dengan KOH 10% memperlihatkan hifa panjang bersekat-sekat yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya, atau kelompokan sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar dan pendek-pendek, yang akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker biru tua atau biru laktofenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan sebagai “meat ball and spaghetti”. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokan kulit  menggunakan skalpel tumpul. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alkohol 70%, lalu dikerok dengan skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng steril pula. Pembuktian dengan biakan M.furfur tidak spesifik oleh karena M.furfur merupakan flora normal kulit.
H.   Diagnosa Banding
Vitiligo dan Kloasma dapat dibedakan dengan tidak dijumpainya skuama. Dermatitis seboroik, Pitiriasis rosea, Sifilis sekunder, Akromia parasitik dari Pardo-Castello dan Dominiquez, Morbus Hansen, Pinta dan Tinea korporis umumnya menunjukkan adanya tingkat inflamasi yang lebih hebat. Eritrasma umumnya menyerupai PV bentuk hiperpigmentasi, hanya pada eritrasma jarang dijumpai adanya lesi satelit, serta memberikan fluoresensi kemerahan pada pemeriksaan lampu Wood. Pada fase eritema sering diduga sebaga Psoriasis.
I.     Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan cara topikal atau sistemik. Pengobatan topikal, terutama ditujukan untuk penderita dengan lesi yang minimal. Obat golongan senyawa azol (antara lain ketokonazol, bifonazol, tiokonazol) dalam bentuk krim selama 2 sampai 3 minggu cukup efektif untuk pengobatan PV. Kesulitan pemakaian krim adalah pada lesi yang luas. Pemakaian ketokonazol 2% dalam bentuk sampo dilaporkan efektif dengan pemakaian yang relatif mudah. Hal tersebut didukung dengan adanya efek antimikotik sampo ketokonazol 2% yang lebih poten dibanding selenium sulfid ataupun seng pirition. Sampo dioleskan pada seluruh badan, lengan, dan tungkai, dibiarkan selama 10-15 menit kemudian dicuci. Pengobatan dilakukan 2 - 3 kali perminggu selama 2 - 4 minggu.         Obat topikal lain adalah selenium sulfida 1,8 % dalam bentuk sampo yang juga dipakai di seluruh badan sebelum tidur, dan segera dicuci pada pagi harinya. Pemakaian 1 - 2 kali per minggu selama 2 - 4 minggu. Cara lain adalah dengan menggunakannya setelah mandi selama 15 - 30 menit, kemudian dibilas.
 Dapat pula digunakan solusio sodium tiosulfas 20 %. Sampo selenium sulfid dan sodium tiosulfas 20 % menyebabkan bau yang kurang sedap serta kadang bersifat iritatif, sehingga sering menyebabkan pasien kurang taat dalam pengobatan. Berikut juga merupakan obat-obat pilihan, yaitu : sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4 - 20 %, tolsiklat, tolnaftat, haloprogin, lotion Kummerfeldi, salep Whitfield. Pengobatan sistemik digunakan bila lesi susah disembuhkan atau luas, yaitu dengan menggunakan ketokonazol atau itrakonazol yang juga sangat efektif untuk PV. Dosis untuk ketokonazol bervariasi antara 200 mg/hari selama 7 - 10 hari atau dosis tunggal 400 mg. Itrakonazol disarankan untuk kasus yang kambuhan atau tidak responsif dengan cara pengobatan lain, dengan dosis 200 mg/hari selama 5 - 7 hari.
J.     Pencegahan 
Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung untuk mencegah terjadinya PV, namun dapat disarankan pemakaian 50 % propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada daerah endemik dapat disarankan pemakaian tablet ketokonazol 200 mg, yang diminum sekali sehari selama 3 hari dalam satu bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan untuk pencegahan kekambuhan penyakit atau pemakaian sampo selenium sulfida sekali seminggu.
K.    Prognosis
Prognosis PV dalam hal kesembuhan baik bila dilakukan menyeluruh,  tekun, dan konsisten, tetapi persoalan utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Menghadapi persoalan ini, lebih baik dilakukan pengobatan ulang setiap kali kambuh atau pengobatan pencegahan daripada memperpanjang suatu periode pengobatan. Bercak hipopigmentasi dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan hingga pigmen yang hilang diganti melalui paparan ultraviolet.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar